Other Side

18.2K 1.4K 34
                                    

"Jika operasi pembedahan tidak mau, maka jalan yang bisa ditempuh hanya dua, Bu. Radioterapi atau kemoterapi."

Mata Ralin mengembun begitu saja. Pria beruban di depannya tampak buram sebab bening air sedang menggantung di bulu mata. Bulir sendu itu kemudian terjun dan membentuk sungai di pipi. Membuat kalbu Ralin makin disayat-sayat.

Ucapan Dokter Felix beberapa saat lalu sukses membuat dada Ralin berdegup kencang. Kanker paru-paru. Bahkan stadium dua. Sel mematikan itu ada di bagian paru-paru kanan tepatnya di lobus atas. Tumornya masih seukuran tomat namun pasti berkembang.

Jika ditelaah penyebabnya, Dokter Felix berspekulasi beberapa hal.

1. Polusi udara. Dari dulu Ralin terbiasa naik angkutan umum seperti kopaja atau bus. Belum lagi para penumpangnya bisa saja perokok. Polusi udara lalu ditambah asap rokok, dua hal tersebut bisa saja jadi peluru untuk paru-paru.

2. Makanan instan. Tidak perlu Ralin mengaku, dunia tahu kalau dia adalah pecinta mi instan. Kandungan senyawa kimia dan penyedapnya bisa jadi pemicu kanker. Pasti.

3. Ralin punya riwayat kanker.  Untuk yang ketiga ini awalnya Ralin tak tahu pasti namun ketika ia tanya Mami, jawabannya membuat Ralin lemas. Dulu saat kecil ia pernah punya riwayat kanker. Tidak separah ini sebab selnya belum berkembang pesat, dan bisa sembuh setelah operasi. Saat itu Papi sedang membangun perusahaan. Beliau hutang sana-sini dan nyaris putus asa. Untungnya ada Om Galih alias ayahnya Aftha yang menolong. Dan karena cerita itulah Ralin teringat ucapan Aluna waktu itu. Mengenai dia yang sakit dan hubungannya dengan perjodohan.

Setiap spekulasi sama-sama kuat. Namun bagaimana jika ketiganya digabung? Ralin sering menghirup udara kotor, mengkonsumsi mi instan, dan punya riwayat kanker.
Alasan yang sangat kongkrit.

Ya ampun, Ralin tak menyangka kalau kecurigaannya selama ini berbuahkan fakta mengejutkan.
Ralin tak pernah membayangkan kalau batuk-batuk yang ia derita beberapa bulan terakhir adalah tanda. Ia tak pernah merasa janggal kalau dirinya amat rentan didera batuk-batuk. Kehujanan sedikit, batuk. Kedinginan, batuk juga. Bahkan minum alkohol untuk pertamakali——saat tahu Mario selingkuh——dia pun batuk-batuk.

Awalnya dokter mengira hanya paru-paru basah. Namun begitu Ralin mengaku soal batuknya di hari itu, maka bertambahlah kecurigaan dokter.

Ralin ingat siang itu. Waktu dirinya menyiapkan makan untuk disantap bersama suaminya. Ada cairan merah yang menyembul saat ia membekap mulut. Kala itu dadanya amat sakit sebab ia tak berhenti mengeluarkan batuk. Kemudian klakson dari luar membuatnya kelabakan. Aftha sudah datang. Karena panik, ia pun cepat-cepat membersihkan sisa darah.

Singkat cerita, di tengah makan Aftha izin ke toilet. Dan saat suaminya melewati dapur, sikap pria itu luar biasa mengagetkan.

"Lin, Ralin...." panggilnya dengan suara takut.

"Kenapa, Af?"

"I.. i.. itu darah siapa?"

Bergetar bibir Ralin saat hendak menjawab. Astaga! Kenapa ia lupa mengenyahkan darah di lantai?

Karena Ralin tak mau menambah mimik ketakutan Aftha——yang ternyata memang fobia darah——maka Ralinpun berdusta. Ia bilang kalau darah tersebut berasal dari telunjuknya yang tergores pisau.

Nyatanya darah tersebut merupakan isyarat. Tanda-tanda kanker. Penyakit mematikan yang akan menelan Ralin beberapa bulan ke depan.

"Dok, apa tidak ada jalan lain lagi?" gemetar Ralin mengucapkannya. Baik radioterapi maupun kemoterapi, dua-duanya akan berpengaruh pada perkembangan janinnya. Ralin tidak mau itu terjadi! Ia tak mau anaknya kenapa-napa.
Saat ini hanya bayi inilah alasan Ralin bertahan.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang