Enemy

14.7K 1.3K 126
                                    

Kemayu angin mencium netra Ralin. Buaiannya sampai ke kelopak, lalu bergulir ke bagian internal. Lamat-lamat rasanya jadi perih. Maka secara cepat, mata dengan irisnya yang gelap pun terbuka.

Ralin bukan lulusan kedokteran namun ia tahu sedang berbaring di mana. Ruangan serba putih dengan bau obat menusuk, lengkap dengan brankar yang menopang tubuhnya. Rumah sakit.

Kornea Ralin mulai berpendar, menguliti seluruh ruangan hingga didapatinya sosok yang membuat dirinya lega.

Siapa lagi kalau bukan pria yang menghantui kalbunya akhir-akhir ini. Aftha Raja Genio, suaminya.

Pria itu duduk tegap tanpa ekspresi. Matanya sayu dan tangannya mengepal. Perlahan mukanya yang lurus berubah. Menjadi lebih tegang. Rahangnya mengetat, alisnya menyilang, dan sorotannya penuh kebencian.
Jangan-jangan... Aftha sudah tahu semuanya.

Bukankah semalam Ralin dibawa olehnya ke rumah sakit? Pasti dokter yang menangani pun menjelaskan kehamilannya.
Dan menyebutkan usia janin yang sebenarnya.

Dheg!

Tubuh Ralin memanas. Darahnya langsung bergulir dengan laju maksimal. Matanya pun mulai berembun, tak kuasa dicecar Aftha. Ia takut.

"Semuanya sudah aku urus," pria itu berujar. Meski nadanya datar, mukanya masih jutek. "Silakan tandatangani."

"Tandatangani?"

Aftha meraih seonggok map di atas meja. "Surat cerai," tandasnya tanpa ba-bi-bu. "Dan aku minta, mulai malam ini silakan angkat kaki dari rumah."

"Af, aku bisa jelasin."

"Kamu hamil bukan dari benih aku. Apa yang mau kamu jelasin?" Aftha membuat Ralin skakmat. "Dokter bilang usia kandungannya enam minggu. Tapi aku sangat ingat kalau kita bercinta tiga minggu yang lalu."

"Af, maafin aku."

"Enggak perlu." Mata Aftha menyorotkan kebencian. Di sekitarnya ada urat-urat yang muncul. Dan sekali lagi rahang Aftha tak bisa melunak. "Kamu tahu apa yang aku dapat gara-gara masalah ini? Ayah nampar aku, Bunda menangis kecewa, Papi-Mami pun gak sudi nampung kamu."

"Af, aku mohon maafin aku. Aku tahu aku salah. Ak..."

"Tandatangani surat cerainya dan jangan pernah muncul di hidup aku." Ungkapan ini membuat mata Ralin semakin leleh. "Kamu sudah membuat aku malu. Kamu sampah. Kamu tidak berharga. Aku benci sama kamu."

Bulir-bulir di bibir mata semakin banyak. Bukan sungai lagi yang tercipta, melainkan samudera yang terbentuk di pipinya. Ralin meraung namun Aftha sama sekali tak peduli. Pria itu bahkan menolehkan wajah dengan muka kesal.

Ralin seperti dilempar ke jurang berduri. Hatinya remuk. Bukan saja karena ucapan Aftha, tapi kenyataan kalau rencananya gagal total pun menjadi alasan.

Ia tak berdaya.

Ia tak punya siapa-siapa.

Ia dibenci Aftha.

Dan semua bayangan buruk lainnya bergelimang dalam pikiran. Menggelapkan pandangan, menyayat kalbu, dan membuat Ralin sadar sesuatu.
Ia berhalusinasi.

Diulangi.

Barusan adalah bunga tidurnya.

"Lin, kamu sudah sadar?"
Tangisan di mimpi barusan sampai di dunia nyata. Ralin bisa merasakan pipinya basah.
"Lin, kamu dengar aku?" Aftha kelihatan bicara sendiri sebab pertanyaannya dianggap angin lalu. "Lin, bilang sama aku apa yang kamu butuhin? Ralinda? Aku mohon jangan buat aku makin panik."

Mendadak dada Ralin terasa hangat. Bahkan panas. Bagaimana tidak, detik ini Aftha merengkuhnya. Memeluknya. Mendekapnya.

Bvlgari Aftha membelai hidung. Otot-ototnya yang padat membuat Ralin merasa aman ada di dada bidangnya. Dan... astaga! Air mata Ralin menetes lagi.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang