The Truth

15.3K 1.3K 71
                                    


Ralin menyodorkan ponsel dengan wajah datar. Tadinya ia ingin bilang sms ini dari operator dan akan ia hapus secepatnya. Tapi, ia tak sampai hati harus mendustai Aftha lagi. Kebohongan tentang janin ini sudah cukup.

"Dari siapa, sih?" Aftha berujar seraya meraih alat elka. Sempat matanya melebar tapi tak lama. "Mungkin Al mau ngasih tahu kondisi kamu."

Ralin bungkam. Ia mengangkat bokong dari kursi kemudian berjalan ke tirai di ujung ruangan. "Aku ngantuk. Mau tidur duluan, ya."

Selama langkah menepi, otak Ralin berputar ke sana ke mari. Ia tahu tak akan selamanya ia merahasiakan nodanya. Cepat atau lambat Aftha akan sadar.

Ralin mulai goyah. Manakah yang harus ia pilih? Mendapatkan Aftha dengan segala rahasia, atau kehilangan Aftha dengan kejujuran?

Eh...

Tiba-tiba saja punggung Ralin terasa hangat. Bvlgari pun ikut mencumbu hidung. Ralin sangat suka dipeluk begini. Terlebih Afthalah tersangkanya.

"Muka kamu yang cemburu bikin aku berdebar, Lin." Aftha berbisik kemudian mencium pipi istrinya. "Bisakah malam ini kita main?"

"Aku baru pendarahan," Ralin berujar tawar.

"Kamu marah?"

Ralin melepas tangan yang melingkari tubuhnya. Ia membalikkan badan lalu menatap Aftha lurus-lurus. "Memangnya ada jawaban lain?"

"Oke-oke. Aku minta maaf karena bikin kamu marah."

"Aluna bilang apa?" cetus Ralin.

"Dia gak bilang apa-apa."

"Gak usah bohong."

Aftha meraih jemari Ralin lalu mengusap lembut punggung tangannya. "Aku bilang kalau aku lagi sibuk jagain kamu. Makanya dia gak telpon."

"Beneran?"

"Kalau gak percaya, lihat aja hape aku."

Ralin menghentikan tangan Aftha yang hendak menyodok saku. "Aku percaya. Sekarang, mari kita tidur."

*
*
*

Sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. Aftha juga menepati janjinya. Setiap jam satu dia datang lalu mengajak Ralin makan bersama. Entah Aftha yang bawa makanan dari luar atau Ralin yang masak seadanya.

Seperti yang dilakukannya hari ini. Di atas meja makan tersuguh hasil racikan Ralin. Sup ayam. Aromanya sudah membuat alis Aftha terbakar. Kombinasi warna dari wortel, kentang, kubis, dan ayamnya sempurna. Kematangannyapun sesuai. Dan ketika lidah Aftha mencicip, Aftha seperti terjatuh ke lautan sup.

"Lin, sup ini lebih dari super hyper sangat enak sekali cetar membahana badai halilintar tsunami gempa angin topan menggelegar duarrduarrduarr..." cerocos Aftha menggila.

Ralin senang melihat Aftha puas karena pengabdiannya. Dadanya menghangat dan senyumnya terurai.

Tapi...

Dibalik perasaan tersebut, terbitlah sesuatu yang lain.
Rasa bersalah.

Oh, pria inilah yang aku tipu. Dia begitu baik, juga tulus.

Dan apa yang aku berikan?
Sebuah tipu daya. Kemuslihatan.

"Lin, kok diam?"

"Aku lagi mikirin kata-kata kamu," jawab Ralin sambil mengaduk kuah sup. "Banyak banget kata yang gak sesuai EYD."

"Hh... kirain mikirin apa." Aftha menuangkan sayur ke mangkuk Ralin. "Nah, makan yang banyak biar bayinya sehat."

Ralin mengurai senyum. Sikap Aftha yang begini makin membuat perasan bersalah itu menggunung. Hati Ralin terasa dicabik-cabik. Sakit sekali!

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang