Thinking of Af

14.5K 1.3K 51
                                    

Ralin terbelalak ketika muntah pagi ini agak berbeda. Cairan yang keluar bukan lagi ludah berbusa, melainkan enceran dengan bercak kecokelatan.

Ia memberanikan diri menyentuhnya. Teksturnya sama seperti muntahan. Hanya saja warnanya yang beda. Ah, mungkin hal biasa. Ralin mencoba tenang.

Yakin kalau lambungnya baikan, ia pun menyiram wastafel. Lalu ia mandi. Mumpung hari ini libur, ia membasuh tubuh lebih lama. Ia berendam dan luluran yang menghabiskan waktu 75 menit. Selain tubuhnya menjadi lebih segar, kulitnya semakin kinclong bahkan wanginya merajai ruangan.

Kalau begini, Aftha pasti merasa disambut. Eh?

Ralin menggeleng cepat. Ia luluran bukan untuk Aftha. Ia wangi bukan untuk lelaki itu. Pikiran tadi hanya selintas, kok. Sumpah.

Selepas mandi Ralin memenuhi hak cacing dan bayinya di meja makan. Kopi persediannya habis jadi ia hanya sarapan dengan mi goreng dan air putih.

“Hari ini kamu nggak usah ke kantor.”

“Harus dibilangin berapa kali, sih? Kalau sakit jangan maksain.”

“Kamu jangan minum kopi terus!”

Entah kenapa omongan-omongan Aftha terasa mengiang. Bahkan bayangan mukanya juga. Mereka berganti seperti layar di film. Aftha yang memijat tengkuknya, Aftha yang menggendongnya, Aftha yang menyelimuti, dan Aftha-Aftha lain yang kehadirannya selalu Ralin abaikan.

Pikiran itu terbawa oleh putaran waktu. Terus menerus. Genap tiga hari Aftha tak pulang, genap 72 jam Ralin kelimpungan, genap 4320 menit Ralin seperti orang gila. Selain batuk-batuk, ia juga jadi sering cek hape.

Ya. Cek hape. Menunggu kabar dari Aftha. Ia terlalu gengsi untuk telpon duluan, tapi ia juga jengah sebab pria itu tak juga pulang.

Ting!

Ralin meraih ponselnya dengan cepat. Seperti yang ia lakukan tiga hari berturut-turut.

Ralin, nskhX pnding 2 hr y

Ralin kecewa. Yang mengirim pesan bukan orang yang ia harapkan.

Iya, balasnya.
Satu menit kemudian Aking membalas lagi.

Km g tX alsnX?

Untuk pertamakalinya Ralin enggan membalas. Pasalnya, selama 3 hari Aking menjadi kawan chatting-nya. Memang mereka masih nyambung saat berbincang. Tapi karena detik ini Ralin benar-benar kelimpungan didera perasaan aneh, ia pun hanya bisa membalas sesingkatnya.

RalindAnggun: Kenapa?

Aking : Km knp, sih? Dr pgi jwbX pndk2

RalindAnggun : I'm okay.

Ralin benar-benar kehilangan mood. Ia pun menghentikan obrolan lalu menaruh ponsel di tasnya. Aduh, dadanya semakin sesak dan batuknya lebih berisik!

“Mbak, istirahat aja kalau sakit,” ujar Yuni yang asyik membuat cover.

“Iya, Lin. Dari kemarin batukmu makin parah,” Hera menambahkan.

“Pak Usob pasti ngerti, kok.”

Ralin tak sempat menjawab. Dadanya semakin sesak sedangkan batuknya tak berhenti. Semua rekan kerjanya ngeri sendiri mendengar kegananasan batuknya. Barulah ketika satu menit berlalu Ralinpun bisa mengendalikan batuknya.

“Bilangin gue ijin, ya. Uhukk... uhukkk..."

*
*
*

“Mulai sekarang kopinya stop dulu, ya.” Dokter Tuti menasihati. Netranya tak menatap Ralin sebab ia asyik menulis resep. Sekitar lima detik, ia pun menyodorkan kertasnya. “Kalau seminggu lagi masih batuk-batuk, Ibu langsung kembali.”

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang