No More

13.1K 1.3K 37
                                    

Penangkapan itu berlangsung kilat. Aftha diringkus ke mobil lalu dibawa ke kantor. Ia ditanya ini-itu sementara pihak polisi menghubungi kerabat yang bersangkutan.

Mendengar berita tersebut sontak suasana jadi heboh. Ayah kabur dari rapat, gosip pegawai bermunculan, Bunda serta Papi-Mami pun ikut datang.

Aftha ditetapkan sebagai tersangka. Polisi meneruskan penyelidikan dan penyidikkan namun Aftha masih harus menginap di bui sekitar satu bulan. Agar Aftha tidak kabur. Itu yang dikatakan prosedur.

"Kamu harus jaga kesehatan, Af. Bunda yakin kamu gak salah."

"Syukuran empat bulannya ditunda aja ya, Nak Aftha. Nanti kita gelar di bulan ketujuh."

"Ayah udah dapat kuasa hukum yang baik buat kamu."

"Perkara ini bisa kamu menangkan dengan alasan pembelaan diri, Nak Aftha."

Setiap kali keempat orangtuanya berkunjung, Aftha hanya tersenyum pura-pura. Maksudnya agar mereka merasa dihargai. Memang siapa yang akan bahagia dikurung di bui?

Terlebih karena sebelumnya kalbu Aftha mendidih duluan. Kalau ingat kejadian malam itu, patutnya yang Aftha serang adalah wanita itu. Uh, kesalnya!

"Sorry ya gue baru dateng," itu Aluna yang bicara. "Pasien DBD lagi reuni," guraunya sambil nyengir. Membuat dua gigi depannya muncul.

Aluna tahu kalau Aftha tidak baik-baik saja. Ia mengerti kalau pria di hadapannya memikirkan banyak hal. Terlihat jelas dari kantung matanya yang berlapis. Dan entah hanya perasaan atau apa, dagu Aftha mulai ditumbuhi rambut tipis. Berjanggut.

"Dia masih belum jenguk lo?"

"Hmmm."

Ralin, istrinya Aftha Raja Genio itu memang sangat mulia. Sudah dua minggu Aftha mendekam di penjara, sekalipun dia tak pernah datang. Dan kalian tahu kemuliaan apa lagi yang dilakukannya?

Dia bohong lagi.

Dia mengaku sering mengunjungi Aftha pada Ayah-Bunda atau Papi-Mami sehingga keempat manusia ini yakin kalau penangkapan Aftha hanyalah kerikil di dalam rumah tangga.

"Omong-omong, udah tiga kali gue ketemu doi di rumah sakit."

Aftha mengatupkan bibir. Enggan berkomentar. Lebih tepatnya jijik mendengar nama si murahan itu.

"Kayaknya dia sakit. Mukanya pucat dan badannya kurusan. Nan..."

"Gue gak mau tahu," potong Aftha dengan nada ketus. "Jangan pernah sebut nama si begundal itu, Al."

*
*
*

Beberapa hari setelah kunjungan Aluna, tidak ada yang menjenguk Aftha kecuali kuasa hukum. Pria yang dibayar penuh itu menjelaskan rencananya di persidangan, kemudian pulang. Meninggalkan Aftha, membiarkan kliennya kesepian.

Ralat. Bukan kesepian, melainkan bosan.
Dari pagi ke pagi sangat monoton. Buka mata, olahraga bersama napi, mengeluarkan keringat dengan cara jadi buruh dadakan, mandi, makan, lalu tidur. Begitu seterusnya.

Beberapa perubahan mulai nampak dari diri Aftha. Sekarang dia tak pernah makan dengan tenang, bicarapun kadang suka kasar. Mungkin karena lingkungan juga. Dan jangan lupakan mukanya sekarang. Wajah mulus tanpa bulu itu sudah berubah. Kini Aftha punya banyak rambut di sekitar mulut dan dagu. Ia jauh kelihatan lebih tua dari umurnya.

Tapi tetap seksi.

"Saudara Aftha, ada kunjungan untuk Anda."

Aftha cepat-cepat beringsut. Tak sabar menemui Ayah atau Bunda, tapi kalaupun Aluna yang datang juga tidak apa-apa. Bosan sekali di dalam sel. Gak ada yang ia kenal, bahkan sepertinya mereka tak suka Aftha. Semuanya sering banget ngajak ribut. Biasalah, napi kampungan. Para penjahat yang merasa harus mengerjai anak baru.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang