Other Way

19.6K 1.5K 113
                                    

"Tapi tidak meninggal, kan? Istri saya masih bisa hidup, kan?"

Aftha mengajukan pertanyaan yang sama untuk kesekian kali. Untungnya Dokter Felix merupakan orang yang sabar sehingga dia menjelaskan lagi kondisi Ralin.

Semalam limitasi Ralin turun karena kelelahan. Hal ini termasuk umum bagi penderita kanker. Jika imun sedang lemah maka pasien akan kehilangan kesadaran. Kalau kondisinya lebih parah, bisa jadi koma. Dan untungnya Ralin belum mencapai fase tersebut.

"Sekarang, bolehkah saya menemuinya?"

"Tentu, tapi setelah dipindahkan ke ruang rawat, ya." Dokter Felix membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya. "Sambil menunggu, saya mau menyampaikan beberapa hal pada Anda. Mari ke ruangan saya."

Aftha mengikutinya. Demi Tuhan, sekarang ia bisa bernapas lega. Tidak seperti tadi. Ia ketakutan seperti orang gila. Membopong Ralin sambil berlari dan berteriak di sepanjang koridor. Entah bagaimana jadinya jika Ralin meninggalkannya hari ini. Pasti sangat menyakitkan. Terlebih istrinya itu tak memberi pesan apapun.

"Silakan duduk," kecap Dokter Felix. "Yang saya sampaikan ini sama dengan yang Dokter Tuti bilang. Setelah Ralin melahirkan, maka kami akan berusaha mengenyahkan tumornya."

Aftha mengangguk seakan mengerti.

"Tapi ada hal yang perlu diperhatikan mengenai rencana tersebut." Nah, kali ini Aftha mulai was-was. Pria beruban di hadapannya bermimik kurang enak. "Dilihat dari pemeriksaan tadi, status kanker Ralin naik menjadi stadium tiga."

"Tapi tetap bisa sembuh, kan?" tandas Aftha tak sabar.

Dokter Felix bergeming. Ia memang dokter bedah terbaik di rumah sakit ini. Sudah banyak pasien yang selamat akibat tangan ajaibnya. Namun, para pasiennya itu memenuhi ketentuan dan prasyarat sebelum operasi. Tidak seperti Ralin yang kondisinya membuat para ahli bedah angkat tangan.

"Dok," Aftha memanggilnya dengan nada putus asa. "Apapun yang terjadi, tolong sembuhkan istri saya." Ia memohon. "Dia harus hidup, Dok."

"Saya mengerti perasaan Anda, Pak Aftha." Dokter Felix menegakkan punggungnya. "Seperti yang saya katakan tadi, status kankernya sudah lebih kompleks. Saya tidak menjamin semuanya berjalan lancar sebab kemungkinannya hanya 20 persen."

*
*
*

Meski cuma dua puluh persen, yang penting masih ada kemungkinan hidup.

Aftha merepetisi kalimat tersebut. Ia tidak peduli kalau Dokter Felix terang-terangan pesimis akan kondisi Ralin. Istrinya pasti sembuh! Ia akan hidup. Bersamanya. Dan bahagia.

Aftha sangat yakin.

Tapi kenapa ya, detik ini Aftha malah tersedu di sisi ranjang istrinya? Bukankah dia yakin? Bukankah dia sangat optimis? Atau mungkin, anggapan tadi hanya penyangkalan. Sebenarnya Aftha sudah tahu kalau keoptimisannya cuma ilusi.

"Lin, apa yang harus aku lakukan?" Aftha bicara pada wanita itu. Tentu saja tak ada jawaban selain bunyi dari alat kesehatan yang bercokol di tubuh Ralin. "Kamu akan sembuh, kan?"

Sayangnya, pertanyaan barusan tak pernah terjawab sampai tiga hari berikutnya. Semakin lama, semakin bertambah saja alat-alat kedokteran yang hinggap di tubuh Ralin. Tak sampai hati Aftha melihatnya. Dari beberapa benda sialan itu, hanya sedikit yang ia tahu. Infusan yang memberinya udara dan ektrokardioraf yang bersaksi bahwa Ralin masih hidup. Oh iya, ada juga CTG yang baru dipasang tadi pagi. Katanya alat ini berguna untuk mendeteksi kesejahteraan janin, juga untuk jaga-jaga jika kontraksi muncul.

Aftha sudah menghubungi mertua maupun orantuanya, namun selalu ditolak. Mungkin mereka masih marah. Tapi tak masalah, Aftha pasti bisa membuka hati mereka. Aftha hanya perlu datang secara langsung dan menjelaskan kondisi Ralin. Akan tetapi, sekarang Aftha belum punya kesempatan untuk menemui mereka. Kasihan Ralin kalau ditinggal sendiri.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang