Men Around Me

20.7K 1.6K 155
                                    

Aftha keluar dari ruangan dokter dengan bibir terurai. Ia baru saja cek kesehatan di rumah sakit yang letaknya berdekatan dengan kantor. Berat, tinggi, kolesterol, tekanan darah, kadar gula, dan tetek bengeknya sesuai. Tidak bermasalah sama sekali.

Namun bukan karena itu ia mengemban senyum, melainkan karena kejadian tadi pagi. Di mana ia bilang soal wanita yang ia cintai. Haha. Aftha suka melihat reaksi Ralin yang kaget. Dia seperti... tidak rela? Atau, cemburu? Yaah, pokoknya begitu, deh.

Sejujurnya, wanita yang dimaksud tak pernah ada. Satu-satunya kaum hawa yang Aftha cinta cuma Bunda, juga Ralin. Tadi itu hanya bualan supaya Ralin sadar kalau semalam gadis itu membuatnya kesal.
Bagaimana tidak. Ralin itu istri Aftha, tapi kenapa Mario yang mengisi mimpinya?

“Mario... Mario, jangan pergi!” begitu katanya semalam.

Aftha mengembus napas berat saat Ralin ngigau. Meski kesal, ia tetap berbaik hati. Ia memegang kening Ralin, memastikan demamnya. Dan syukurlah suhunya masih normal.

Kemudian, ia menyibakkan selimut hingga menutupi dada.
Perlahan senyum di bibir merah Aftha terbit. Ini karena Ralinda Mandala Anggun. Aduh, kenapa dia begitu memikat? Dia cantik, sangat cantik.

Tengoklah wajahnya yang tidur ini! Sangat anggun, sesuai nama belakangnya. Natural, damai, dan indah dipandang. Dagunya lancip, bibirnya juga tipis berwarna merah muda. Hidungnya tidak terlalu mancung namun sangat cocok dengan wajahnya yang oval. Dan, lihatlah matanya yang tertutup! Inilah kelereng yang membuat Aftha jatuh cinta padanya.

“Mario... uhukkk... uhukkk...”

Aftha cepat-cepat keluar. Takut Ralin bangun. Dan memang itu yang terjadi setelahnya. Aftha yang ngintip bisa melihat Ralin membuka mata lalu batuk-batuk. Aduh, kasihan dia.

Tapi lebih kasihan Aftha. Ia mencintai Ralin namun yang mendekam di hati gadis itu hanya Mario. Pokoknya ia bersumpah, ia tak akan menyerah. Meski harus berperang dengan waktu, ia akan tetap mencokolkan perasaannya hanya untuk Ralin.

Don't give up, Aftha!” Aftha mengucapkannya dengan yakin. Sambil mengumpulkan semangat, ia terus mengulangi kata-kata itu dalam hati. Langkahnya juga makin mantap.
Ia mengambil arah kiri untuk jalan pulang. Sebuah koridor panjang yang terdapat banyak kepala di sana. Di sisi kanan, tepatnya di spesialis kandungan, ada lima ibu hamil sedang duduk menunggu antrian. Lalu, di deretan berikutnya adalah taman bunga yang dihuni banyak lansia yang dihibur perawat. Mereka tampak ceria, tidak kelihatan sakit padahal tiang infusan berdiri di sebelah.

Eh, tunggu! Yang di sana itu, kan...

“Aluna!” Refleks Aftha memanggil orang itu. Ia langsung berlari ke arahnya, lalu melingkarkan tangan kekarnya pada gadis itu. “Ini beneran lo? Gila, gue kangen berat, Bro!”

“Af.. Af... sesak.”

“Oh, sorry.” Mau bagaimanapun juga Aftha benar-benar senang. Berkali-kali matanya bekedut dan ia gemas ingin memeluk. “Al, kenapa lo di sini?”

Aftha memegang wajah di hadapannya. Mau memastikan lagi. Oh, ya ampun! Ini memang Aluna Sandra Rahardi. Si tengil yang sudah bermetamorfosis menjadi dokter. Tahi lalat di dagunya masih sama, mata sipitnya juga tak berubah. Dan, aromanya masih Aluna yang dulu. Issey miyake.

“Pengabdian gue di daerah pelosok baru aja selesai. Sekarang, gue ditempatin di sini.” Sekali lagi Aftha percaya ini memang Alunanya. Dua gigi depan yang agak maju ——yang menjadi alasan dia dijuluki si gigi kelinci——masih tertata di sana. “Belum jadi dokter tetap, sih. Tapi... gue seneng banget ketemu sama lo, Af!”

Kini giliran Aftha yang sesak napas. Gadis itu memeluknya dengan kuat. Membuat Aftha tak bisa bergerak, apalagi mengelak.

“Nah, sekarang waktunya lo nepatin janji.” Aluna melepas pelukan lalu menadah tangan. “Mana perubahan lo? Katanya mau ditunjukin kalau ketemu gue.”

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang