“Bagus ya, jam segini baru pulang.”
Suara bariton itu muncul ketika Ralin membuka pintu. Pemiliknya memakai kaos oblong warna hitam dan bercelana jins biru tua. Gelayut otot-ototnya begitu jelas, apalagi ia tengah melipat tangan di dadanya yang bidang. Dari matanya terpancar dua hal. Lega sekaligus jengkel. Untunglah irisnya yang kecokelatan tampak sendu. Sehingga ia bisa menyembunyikan kelegaan.
“Dari mana, Non?”
Ralin tak menjawab. Maka ia pun menaruh tasnya kemudian melengos.
“Aku tanya dari mana?” kini Aftha bertanya sambil mencengkeram tangan Ralin.
Ralin menepis tangan kekar Aftha. “Gue ke mana atau dari mana bukan urusan lo,” katanya jengkel. “Dan satu lagi, keputusan gue udah bulat. Gue mau cerai. Secepatnya.”
“Kamu pikir semudah itu?”
“Apanya yang susah?” tantang Ralin sambil melipat tangan di dada. “Gue udah nggak peduli apapun risikonya. Diusir Papi-Mami, dihapus dari daftar keluarga, bahkan dianggap mati sekalipun, gue nggak peduli.”
Aftha masih sabar. Atau hobinya memang sabar. Berkali-kali ia mengembus napas, berkali-kali juga ia mengatur kata dalam otak.
“Aku nggak mau,” jawab Aftha dengan suara lunak. “Kita baru menjalaninya delapan bulan, belum dua tahun sesuai perjanjian.”
“Persetan dengan perjanjian!” maki Ralin penuh emosi. “Gue udah nggak bisa bertahan lama-lama. Yang ada gue keburu gila!”
“Kamu memang gila,” ucap Aftha. “Kita udah nikah tapi kamu masih menjalin hubungan dengan pacar kamu. Heran deh, apa yang kamu harapkan dari si blangsak itu?”
“Jaga mulut lo! Mario nggak blangsak!”
“Pernah culik kamu satu minggu, cium-cium kamu seenaknya, grepe sana sini, kuliah nggak tamat, dan...”
“Lo pikir lo lebih baik dari dia?” potong Ralin penuh amarah. “Hidup serba ada karena orangtua, sekolah tinggi dari orangtua, dapat jabatan penting gara-gara orangtua, bahkan dapat istri dari orangtua.” Ia berdecak merendahkan. “Coba sebutin, apa yang lo punya dari hasil keringat sendiri?”
Aftha dibuat takluk. Kalimat demi kalimat itu seperti basoka. Meluluhlantahkan stok huruf di ujung lidahnya. Luar biasa! Si editor tengil ini memang punya setriliun kata makanya bisa bicara seperti itu. Hebat!
“Nggak bisa jawab, kan? Dasar bencong!”
Sementara Aftha yang masih mematut diri, Ralin masuk ke kamar sambil membanting pintu. Ia mendatangi laptop-nya secara buru-buru. Gawat! Ia baru ingat kerjaannya. Kesempatan Si Paus Obesitas tinggal satu hari lagi. Kalau ia tak berhasil, bisa-bisa bulan ini tak gajian. Kalau sudah begitu, dari mana ia punya dana untuk kawin sama Mario?
“Eh, kalian datang?”
Di tengah aksi Ralin mendengar suara Aftha. Sepertinya ada tamu.
“Yah, Bun, Pi, Mi, mari masuk!”
Waduh! Empat manusia itu datang?
“Yang, Ayah-Bunda sama Papi-Mami dateng, nih.” Aftha tersenyum penuh cinta. Tentu saja Ralin paham maksudnya. Saatnya drama dimulai!
Ralin mengikuti kaki panjang Aftha. Lagaknya sudah seperti istri idaman. Salam pada orangtua dan mertua, kemudian masuk ke dapur untuk menyiapkan suguhan.
“Tumben kalian ke sini berempat?” tanya Ralin setelah kudapan tertata rapi. Ia duduk di sebelah Aftha kemudian memeluk tangan suaminya.
“Tadinya cuma Ayah sama Bunda yang niat ke sini. Mau jenguk,” Ayah menjawab jujur. “Eh, di tengah jalan Papi-Mami telpon. Yaudah deh, sekalian ikut aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouched
RomanceRalinda tahu sebanyak 99,99% pasangan hasil perjodohan itu bahagia. Tapi itu di cerita fiksi. Yang awalnya saling benci, lalu dengan buaian kata-kata si penulis maka dua insan itu menjadi saling mencintai. Oh, ayolah! Itu sebuah kebohongan. Mitos. I...