Homework

35K 2K 441
                                    

"Af, supnya udah jadi," karena Aftha tak menyahut maka Aluna masuk ke kamar sambil berbisik.

Aftha mengelap sudut mata lalu mengangguk. Ia beringsut ke meja makan untuk menghampiri wanita itu.

"Habisin, ya."

"Kamu gak ikut makan?"

Aluna menggeleng. "Sepanjang ngajarin Alin, aku ngemil terus. Sekarang kenyang banget. Gak tahu deh gimana nasib tubuh aku abis melahirkan nanti. Pasti bengkak."

Aftha mengangguk tanpa arti. Ia menyendok kuah sup lalu menunggu asapnya enyah sambil membisikkan doa. Dia tidak bicara, tidak juga mengangkat wajah dari mangkuk. Persis seperti yang dilakukannya empat tahun terakhir.

"Af." Aluna memanggil namun pria itu tak merespons. Entah tak mendengar atau pura-pura tuli, yang pasti Aluna sudah memahami keadaannya.

Sedikit banyak Aftha sudah berubah. Karena kematian istrinya, tentu saja. Dia jadi jarang bicara, kadang lupa makan, dan lebih banyak melamun kalau sendirian. Iris cokelatnya tampak kelabu. Tidak cerah seperti biasanya. Senyum menawannyapun sering kelihatan terpaksa. Itupun kalau di hadapan orang. Jika ia tengah sendirian, rautnya terlihat putus asa.

Tingtong~

Bel berdenting lantas Aftha menghentikan aksi. Ia berinisiatif membuka pintu. Tentu karena tak tega melihat wanita hamil harus jalan cepat-cepat untuk menemui tamu.

"Af, Aluna udah tidur?" kecap sang tamu begitu pintu dibuka.

Tanpa ba-bi-bu pria berkacamata ini langsung menyerobot ke arah Aluna.

"Sweety, I miss you so much!"

Aluna menaikkan alis. "Kamu kok ke sini? Bukannya pulang lusa, ya?"

"Aku kangen kamu dan Debay makanya pulang cepat." Pria itu memeluk Aluna dan menghujaninya dengan ciuman di muka. Seakan Aftha yang ada di belakangnya hanya patung.

"Frans, jangan gini!" Aluna berusaha mengelak. "Malu sama Aftha."

"Eh, lupa." Frans nyengir kuda lalu menatap Aluna lekat-lekat. "Sweety, muka kamu kok beda?"

"Beda apanya?"

Frans memberi tatapan menyelidik. "Bulu idung kamu nambah, ya? Idih, lebat banget. Laksana lebatnya cinta aku sama kamu."

Aftha geleng-geleng kepala. Ada-ada sana polah suami Aluna ini.

Benar kata Aluna beberapa tahun yang lalu. Tingkah jayus Frans sama sekali tak menunjukkan dia seorang dokter.

Dan pria berkepribadian unik inilah pendobrak hati Aluna. Dia menikahinya tahun lalu. Entah bagaimana pendekatannya, yang pasti Aftha sempat kaget ternyata sahabatnya bisa jatuh cinta juga. Ah, cinta memang kadang nekat. Padahal dulu, Aftha sempat beranggapan Aluna bisa jadi pengganti 'dia'.

Alunalah yang paling memahami Aftha luar dan dalam. Dia yang menguatkan Aftha di titik terendah. Dia yang membantu Aftha mengurus Alin sejak bayi maka tak ayal kalau bocah itu bisa memanggilnya Bunda.

Bulan-bulan pertama sejak 'dia' pergi, Aluna tak pernah absen ada di samping Aftha. Katanya khawatir. Merangkak ke bulan ketiga, Aftha menjelaskan bahwa dirinya bisa mengurus Alin sendirian. Bagaimanapun juga, Aluna yang mampir tiap hari sudah pasti mengganggu shift-nya di rumah sakit. Dan tahu-tahu, tahun lalu Aluna memberinya undangan. Pernikahannya dengan Frans.

Aftha tak merasa tersingkir oleh kehadiran Frans. Baginya, Frans sudah terlampau baik sebab ia mengijinkan Aluna mampir ke rumahnya hanya untuk mengurus Alin. Sejak hamil Aluna dilarang kerja. Katanya biar gak capek. Tapi anehnya, Frans tak mengharamkan istrinya menghabiskan waktu di rumah Aftha.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang