Heart Attack

21.4K 2K 131
                                    

Ralin jatuh terduduk. Otaknya mendadak kosong. Jiwanya terasa melayang. Ia langsung mati rasa, merasa ditipu, bahkan ia yakin dialah wanita paling tolol sedunia.

Bening yang jatuh membuat pipinya perih. Ia seperti dikuliti. Terutama di bagian dada. Nyeri! Sakit! Perih!

“Ma.. maaf sudah mengganggu!” Ralin mengucapkannya dengan suara bergetar. Ia lekas berdiri namun pijakannya terasa limbung.

“Ralin, tunggu!” Cepat-cepat Mario mengejarnya. Dasar bodoh! Dia mencapai Ralin dengan keadaan dibalut selimut. “Kasih kesempatan buat aku ngejelasin, Lin.”

“Si.. si.. silakan!”

“Barusan... barusan itu... ng... anu. Aku... aku...”

“Cukup!” Ralin memotong. Cepat-cepat ia mengenyahkan seluruh bulir di mata kemudian menatap Mario lurus-lurus. Mukanya benar-benar merah. Kepalanya terasa panas, mungkin karena ubun-ubunnya mendidih. “Kamu luar biasa, Mar.”

Ralin keluar dari kontrakan Mario. Meski ingin menangis, setidaknya ada sesuatu yang lebih penting dan harus ia lakukan. Ya, pelajaran untuk Si Berengsek Mario.

“Pak RT, Pak RW.... Toloong! Di dalam ada orang mesum! Gerebek, Pak. Gerebek!”

*
*
*

Nomor yang Anda tuju...

Aftha geram setengah mati di pukul 23.30. Selarut ini Ralin belum pulang. Tadi sore ia ijin pergi dan tak mengabari lagi. Dasar begundal! Ke mana dia?
Lima belas menit berikutnya masih sama. Mata Aftha mulai capek, maka ia pun terlelap. Ah, nikmatnya tidur di sofa. Sudah lama sekali Aftha tidak merasakan tidur senyaman ini. Ototnya terasa dipijat, uratnya seperti dimanja, dan tenaganya kembali terisi. Belum lagi di luar hujan deras. Jatuhnya titik hujan seakan melengkapi serenade malam.

Tapi sialnya, kenikmatan itu mendadak ngacir setelah ponselnya berdering.

Si Begundal is calling...

“Heh, bego! Kamu di mana? Cepat pulang!” semprot Aftha setelah menekan ikon berbentuk telepon hijau. Dan jawaban di seberang sana membuat alis Aftha naik. Itu bukan suara Ralin. “Bb... bb... baik, Pak. Saya ke situ sekarang.”

Aftha beringsut lalu mengambil kunci mobil. Ia sempat meraih payung dan jaket barulah terbang ke tempat tujuan.

Penelepon tadi adalah pemilik diskotik di alun-alun kota. Katanya Ralin sudah ada di sana sejak sore dan tak mau pulang.
Oh, merepotkan sekali! gerutu Aftha yang sudah sampai di TKP. Cepat-cepat ia memakai jaket serta membuka payung kemudian masuk ke dalam.

Suasana hanya ramai oleh derasnya hujan. Diskotik ini hendak tutup makanya pelanggannya sudah pulang. Di depan meja bartender, di sanalah Ralin berada. Tertidur pulas dan membuat Aftha ingin menamparnya sepuluh kali.

“Maaf merepotkan, Pak.” Pemilik bar tersenyum malu-malu. “Ini yang harus dibayar istri Anda.”

“Kamu jahat, Sayang. Kenapa kamu selingkuh di belakang aku? Hiks!” Ralin mengatakannya ketika Aftha membayar tagihan. Ngigau. “Aku udah kasih semuanya. Kenapa kamu khianati aku?” Ia kemudian tersedu tanpa air mata. Matanya melek dan bicaranya makin ngelantur.

“Kami pamit sekarang. Maaf merepotkan dan terima kasih sudah telpon saya.”

Aftha pamit setelah membungkus Ralin dengan jaketnya. Ia menaruh Si Begumdal dalam gendongan kemudian cepat-cepat keluar menuju mobil.

*
*
*

Kelopak Ralin terbuka. Masih basah dan ia tahu alasannya. Ralin menangis. Dadanya terasa nyeri. Sumpah! Pengkhianatan ini begitu tiba-tiba. Bahkan di saat yang kurang tepat. Niatnya mau memberi kejutan, malah Ralin yang terkejut.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang