Devil

14K 1.2K 41
                                    

Layaknya api yang menyala di atas lilin. Pasti melahap tubuh parafinnya, hingga habis. Tak ada cara lain agar si lilin tidak digerogoti, kecuali apinya dipadamkan.

Begitupun kelakukan Aftha sekarang. Kenikmatan dunia yang memanjakannya malam itu seperti api untuknya. Merambat terus menerus. Tak bisa dihilangkan. Kebiasaan barunya bukan lagi menulis ataupun menyelesaikan tugas kantor, melainkan main-main dengan wanita tanda kutip.

Sudah dua minggu hobi baru itu ia nikmati. Ia tidur dengan wanita berbeda setiap malamnya. Entah itu di klub malam langsung, atau mungkin sewa hotel demi kepuasaan tersendiri. Selama empatbelas hari itu juga ia tak pulang ke naungan istrinya.

Ia bukanlah Aftha yang dulu. Yang takut dosa. Yang menghargai wanita. Yang bertekad hanya dengan istrinyalah ia mengorbankan syahwatnya. Dia sudah berubah.
Menjadi pria berengsek, tentunya.

Saat ini hati dan logikanya sudah rusak. Ia tak pernah memandang wanita--kecuali Bunda--sebagai makhluk berharga. Baginya, wanita tidak lebih dari sampah. Menjijikan!

"Kamu mabuk, Baby. Kita pulang aja, ya."

Aftha menggeleng dengan mata teler. Ia meraih gelas di atas meja lalu meneguk isinya hingga habis. Ah, membosankan! pekiknya dalam hati. Ia lekas menarik kupu-kupu malam di sampingnya lalu memeluknya. Satu menit. Dua menit. Tidak asyik sama sekali. Ah, Aftha bosan!

"Ayo, ikut!" Aftha berujar. Ditariknya wanita berambut kemerahan tersebut keluar diskotik. "Bawa aku pulang. Sekarang."

"Aku gak tahu rumah kamu."

"Baca di KTP. Nih."

Wanita itu meraih dompet pelanggannya. Langsung saja matanya menyalang. Wiih, banyak banget duitnya! kecapnya dalam hati. Ia pun lekas menguras seluruh uangnya dan menuruti permintaan Aftha yang mau diantar pulang.

Sekitar tiga puluh menit di jalan, akhirnya mereka sampai. Aftha yang terlelap pun bangun. Kesadarannya naik seperempat. Lumayan.

"Terus gimana aku pulang?" kecap si wanita dengan nada merengek.

"Pulangnya besok aja. Malam ini kamu harus puasin aku."

"Di rumah kamu?"

Aftha mengangguk lalu melepas sabuk pengamannya. Setelah meraih kunci kemudian keluar, kepalanya terasa berat. Uh, efek alkoholnya masih ada!

Dibantu wanita pesanannya, Aftha pun menginjakkan kaki ke rumah. Hari ini sudah sangat larut. Tetangga kepo dan siskamling yang berkeliling tidak terdeteksi. Ini membuat Aftha semakin tak ragu menggusur pesanannya ke dalam rumah.

"Buka pintuuuu!" perintah Aftha setelah tahu jati ini dikunci. "Bukaaa...!"

Tidak ada respons lantas Aftha mengetuk lebih kencang. Ia nyaris mendobrak kalau saja wanita berpakaian minim di sampingnya tak mengingatkan.
Kemudian terdengar kunci dibuka dari dalam. Aftha lekas membukanya lalu menerobos masuk. Tidak peduli bagaimana kondisi si pembuka pintu saat ini.

"Masuk, Sayang. Masuk. Anggap aja rumah sendiri."

Wanita bayaran itu masih dirangkul Aftha. Kepada sosok yang perutnya bulat itu ia hanya tersenyum kikuk. Mungkin gak tahu lagi harus ngapain.

"Af..."

"Kamu mau minum dulu, Sayang?" potong Aftha dengan mata nyaris menutup. Ngantuk lagi. "Apa? Bilang aja. Nanti biar dia yang buat."

"Aku pulang aja, ya. Kamu udah mabuk banget, nih."

Aftha menahan langkah wanita tersebut. Tubuhnya oleng namun tak jadi jatuh sebab wanita bayarannya menahan cukup kuat.

"Aku udah bilang, puaskan aku dulu, baru pulang!" gertak Aftha. Masih dalam keadaan teler. "Ayo, sekarang bawa kau ke kamar."

"Eh, kamar dia ada di mana?" tanya si wanita pada Ralin. Ya, Ralin.

"Kamu ngapain ngomong sama dia?" timpal Aftha. "Ayo, jalan! Kamarnya ada di..." Aftha menggaet wanita bayarannya sebanyak lima langkah. Tiba di kamar Ralin, ia pun berkata, "Sini. Di sini kita akan tidur, Sayang."

Aftha menarik wanita bayarannya lalu menutup pintu. Sekali lagi, dia tidak mempedulikan kondisi——bahkan melirik juga tidak—— Ralin yang menyembulkan kaca-kaca di mata.

*
*
*

Setelah malam itu, Aftha malah semakin menggila. Permainan ranjangnya tidak lagi di hotel ataupun diskotik. Ia melakukannya di rumah. Di kamar Ralin. Selalu.

Sudah tak terhitung berapa wanita yang menemaninya. Semua kupu-kupu malam itu hanya melakukan tugasnya. Memberi setelah dibayar mahal oleh Aftha.

Tak perlu tanya bagaimana perasaan Ralin sekarang. Jawabannya tak bisa diuraikan kata-kata. Aftha sama sekali tak menganggapnya. Sebagai istri maupun sebagai manusia. Dia tak bicara sama sekali. Kalau dijabarkan, beginilah agenda Aftha setiap hari : jam setengah tujuh bangun. Kemudian ia mandi ——kadang ditemani wanitanya—— lalu bersiap ke kantor. Jam setengah delapan dia pergi dan pulang lagi jam dua belasan——dengan wanita berbeda, tentu saja. Paginya ia bangun lalu mengulangi tindakan tersebut.

Ralin tidak punya andil untuk protes. Terlebih karena setiap diajak bicara, Aftha tak pernah mendengar. Aftha menganggap Ralin tak lebih dari bayangan saja. Imajiner.

"Kamu kok jahat banget, sih?"

"Jahat kenapa?"

"Masa kamu memperkejakan pembantu yang lagi hamil? Kamu gak kasihan? Aku aja iba. Muka dia pucat banget. Kayaknya sakit."

Pembantu. Muka pucat. Sakit.
Tiga kata itu yang selalu diutarakan wanita bayaran Aftha. Kenapa pembantu? Karena akhir-akhir ini Aftha sering menyuruh ini-itu pada Ralin. Muka pucat dan sakit? Pasti karena keadaannya memang begitu. Dilihat dari manapun, orang-orang tahu kalau Ralin tidak sehat. Perutnya memang semakin besar, namun matanya berkantung dan tubuhnya mengerut.

Tapi Aftha tidak peduli.
Tidak akan peduli.

"Aku haus. Mau minum." Perempuan di atas kasur merengek. "Bikinin, ya."

Aftha mengiyakan. Ia memakai boxer-nya lalu keluar dari kamar. Di ujung dapur, kelihatan Ralin baru keluar kamar mandi. Wajahny lembap——mungkin habis cuci muka—— dan di dasternya ada bercak darah.

Ah, mungkin jarinya keiris lagi. Di lantai juga ada darah. Pisau yang tergeletak di dekat kompor pun demikian. Ralin kan ceroboh. Lihat saja telunjuknya! Di sana terlukis bekas kecupan pisau.

"Aftha."

Aftha tak menoleh apalagi menjawab. Ia asyik menuangkan sirup ke dalam gelas.

"Mau sampai kapan kamu giniin aku?"

Sekali lagi Aftha pura-pura tuli. Ia mengaduk minumannya lalu mencicip satu tetes.

Prangg...!

Karena kesal Ralinpun melemparkan gelas tersebut. Bercak darah di lantai bercampur sirup merah. Dua molekul tersebut saling berpekukan, membuat jejak salah satu partikel hilang.

Yang mengherankan bukan tentang jejak darah yang diserap sirup, bukan pecahan-pecahan kaca yang berkilau disinari lampu, bukan aroma sirup yang merajai ruangan, bukan juga benturan gelas yang kalah nyaring dari sendok yang jatuh. Yang aneh hanya satu...

Aftha tak bereaksi.

Sama sekali.

Pria itu malah mengulangi tindakan. Mengambil gelas baru, menuangkan sirup, mencampurnya dengan air es, lalu mengaduknya. Kemudian pergi dari dapur.

Astaga! Ada apa dengan pria itu?

-bersambung

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang