Four Point Five

20K 1.4K 82
                                    

Bab 22 : Ayah yang Bangga
Empat tahun sudah semua itu terjadi. Aku tak ingat berapa kali aku berlagak kuat di hadapan mereka. Aku tak menangis, tak menunjukkan air mata, pun tak menyesali takdir ini.

Kukira aku tak bisa bertahan. Aku bahkan tak yakin, apakah bayi merah dengan selang infusan di sekujur tubuhnya itu bisa bertahan atau malah menyusul ibunya?

Masih terekam keadaan anakku saat itu. Bayiku, bayi paling cantik di dunia itu sangat kecil. Bobotnya tak sampai 2,5 kilo dan panjangnya hanya 35 senti. Rambutnya jarang-jarang, kulitnya sangat merah, matanya selalu terpejam manakala kujenguk dia di NICU, dan pergerakannya pasif. Bahkan terlampau pasif meski sekadar menguap.

Nyeri hati ini saat kutatap ia yang sedang membuka mulut. Dia kesulitan. Geliat tubuhnya hanya beberapa detik. Pun lenguhannya teramat lemah.

Pernah suatu malam dia tersedak gara-gara aku ketiduran saat memberinya susu. Dia mengap-mengap sedang mukanya membiru. Saat itu aku benar-benar takut. Aku membalikan badannya dan mengurut punggungnya dengan keringat menetes di dahiku.

Bayang-bayang buruk mengitari otakku. Bagaimana kalau napasnya berhenti? Bagaimana jika caraku memijat berlebihan? Apakah tulang punggungnya akan patah jika kupijat begini?

Untunglah bayiku selamat. Selang tiga detik, ia menangis sangat kencang. Tapi bodohnya, aku tak menenangkannya. Aku malah ikut menangis di sudut ruangan.

Kalau saja 'dia' ada, mungkin dia yang panik dan aku tetap tenang lalu membawanya ke klinik. Atau mungkin sebaliknya.

Lalu ketika bayiku menangis, 'dia' akan ikutan menangis lantaran lega dan aku akan menenangkannya dengan pelukan.

Aah, sialan! Itu semua tak akan pernah terjadi. 'Dia' sudah pergi.
Jadi, mari beralih dari 'dia'.

Kini aku sadar kalau bayiku sangat luar biasa. Dia bertahan, lalu berkembang. Dia membuatku bangga. Sekaligus menjadi alasan aku bisa bertahan. Sampai detik ini.

Terlepas dari rasa banggaku, ada sesuatu yang membuatku tak bisa tenang. Aku anak tunggal dan laki-laki, sehingga aku tak tahu bagaimana caranya memperlakukan gadis kecilku. Beberapa belas tahun lagi, aku harus menjawab ini:

Bagaimana caranya aku menjelaskan soal menstruasi dengan gaya keibuan?

Bagaimana caranya aku menceritakan soal bra dan miniset tanpa terlihat seperti orang cabul? Tunggu! Terlebih dahulu akupun harus tahu apakah miniset itu.

Lalu, umur berapa dia boleh pacaran?

Seperti apa lelaki yang pantas untuknya?

Hmm, untuk dua pertanyaan terakhir, tampaknya aku bisa menjawab. Tidak akan kubiarkan siapapun mendekatinya. Aku bisa mati berdiri jika ada cowok yang mengincar anakku.

"Papaaaaa!" suara cempreng itu menghentikan Aftha yang tengah membaca ulang tulisannya. "Alin panggil dari tadi kok gak nyahut?"

"Maaf Sayang, Papa keasyikan."

Balita berambut hitam sebahu itu menelusup ke dada Aftha. "Papa lagi bikin novel, ya? Boleh Alin baca?"

"Memangnya kamu sudah bisa baca?" jawab Aftha sambil memeluk gadis kecilnya.

"Bunda udah ajarin Alin."

"Oh, ya? Kapan?"

Alin memutar bola matanya yang gelap. Berusaha mengingat. Aah, pipinya yang chubby membuatnya tambah menggemaskan! Belum lagi kalau senyum, sensasinya bakal luar biasa menggoda dengan tambahan lesung pipi. Ingin rasanya Aftha menggigit lalu menelannya bulat-bulat.

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang