2 ; Dissapointed

149 29 1
                                    

Nyonya Liz berjalan kelantai atas dan mengamati anaknya yang sedang mengamati anak sahabatnya yang diamati oleh sahabatnya.

Iyain aja ya kan.

"Oh iya, masih inget kan Rasha? Dia yang suka nangis kalau nggak ketemu sama kamu waktu kalian masih sepuluh tahun." Ujar Nyonya Liz penuh dengan kenostalgiaan.

Entah mau mengatakan apa, tapi raut wajah Rasha sudah berubah sumrawut. Dan Luke sendiri yang terbawa suasana karena pemandangan gadis didepannya itu lebih daripada ngeri.

Rasha hanya terdiam mengamati tiga orang disekitarnya, tidak ada sepatah katapun yang ingin ia ucapkan.

"So, so.." Lantas Rasha pergi kedalam kamarnya lagi dan membiarkan gantungan kristal di pintu kamarnya berbunyi gemercik akibat hantaman yang ia buat.

Mom Roline terheran melihat tingkah laku anaknya. "Halah biasa, nanti juga cerewet lagi." Ucapnya dengan bahu mengangkat.

-

Mama juga nggak membiarkan anak Liz sekedar tinggal sama kamu. Luke butuh bantuan kamu. Mama juga nggak tahu intinya apa, yang penting Liz udah menitipkan pesan kalau keluarga mereka mau melakukan sesuatu, karena itu mereka nggak bisa mengawasi anak bungsunya. Emang kamu nggak kasihan sama dia?

Mendengar celotehan mama adalah hobi tersendiri. Rasha yang memiliki kebiasaan mengumpat malah tersenyum diselang ibunya yang banjir ludah karena marah-marah melulu.

"Ma, udah belum tausiahnya? Rasha tidur dulu ya. Dadah mama, muah." Ucapnya lalu tidur begitu saja.

Mom Roline menepuk jidatnya. Susah-susah bikin anak ternyata yang keluar jenisnya kayak gini pikirnya.

Memang mengecewakan, ya.

"Umm.. Segini juga udah cukup kok, ma." Luke mengemas barang bawaannya dan menyimpannya dikamar sebelah Rasha, karena sisa kamar yang lain hanya untuk 'kepentingan pribadi' milik orang tua nya.

Iya, maksudnya buat saudagar keluarga Jonesh yang mampir, bukan buat yang aneh-aneh.

Nyonya Liz mengecup kening putra bungsunya dan membisikkan sesuatu seperti 'hati-hati' dan hal lainnya sebagaimana seorang ibu pada umumnya. Luke mengangguk yakin dan segera membawa barang-barangnya kedalam kamar, dibantu oleh mom Roline yang menata rapih semuanya.

Setelah berberes, mom Roline mengunjungi kamar Rasha dan mendapati anaknya sedang belajar. "Sha, itu belajar bareng sana. Katanya besok ada ujian."

"Hah?" Ucapnya singkat.

"Hah heh hah heh, udah sana belajar bareng. Ajarin Luke bagian-bagian yang rumit biar dia lebih ngerti. Mama sama Mom Liz mau jemput papa di kantor, sekalian nganterin mom Liz ke bandara."

Rasha memutar bola matanya malas, "Kalau punya ilmu itu nggak boleh pelit." Timpal mom Roline yang tampaknya tadi belum selesai berkata-kata.

"Emang dia belajar dimana, ma?" Tanya Rasha.

Mom Roline tampak berpikir sebentar. "Lah kan sekelas sama kamu."

Rasha mengernyitkan dahinya. "Lah perasaan nggak pernah, ma." tentu saja ia membantah. Mana ada orang baru pindah tiba-tiba sekelas.

"Yaudah lah pokoknya gampang, besok juga kamu udah mulai bisa pergi sekolah bareng sama dia. Makanya mobil kamu udah papa siapin di garasi bawah." Jawab mom Roline panjang lebar.

"Lah perasaan Rasha belum ada surat izin mengemudi." Rasha dibuat bingung yang kedua kalinya.

"Maksudnya apaan sih, ma?!" Rasha mengerucutkan bibirnya setelah berteriak histeris.

Mom Roline keluar dari kamar Rasha dan meninggalkan anaknya dalam rasa penasaran. "Ma, plis deh. Dia udah pindah kesini, aku rela. Sekarang dia harus satu kampus sama aku, aku nggak mau."

Mom Roline berbalik. "Kamu ini ranking satu tapi kok bego. Yakali Luke mau naik pesawat bolak-balik dari California ke Australia cuma buat ngampus. Lu kira dia malaikat jibril." Ucapnya berkacak pinggang.

Anjir, kalah telak.

Rasha berakhir menangis dipojokan kamarnya karena merasa kalah. Ia merasa terintimidasi oleh ibunya sendiri. Tak menyangka hari ini akan datang juga, hari dimana ia harus kembali ke masa lalu nya.

Masa lalu yang pecah.

-

Semua buku yang sudah dirapihkan ia bawa kedalam kamar sebelahnya. Rasha menuruti perintah ibunya yaitu mengajari Luke beberapa pelajaran yang dia kuasai.

"Suruh siapa boleh masuk?" Sapa orang didalamnya begitu Rasha membuka pintu.

"Ini rumah gue." Nada bicara Rasha terdengar biasa, namun sebenarnya ia sudah mengumpat sedaritadi dalam hati.

"Tutup lagi kalau udah masuk." Ucap Luke santai, sementara Rasha kerepotan memegang tumpukan buku ditangannya. Ia berusaha menutup pintu namun buku yang berada ditangannya sudah ambruk duluan.
"Kalau mau ngelakuin apa-apa itu DIPIKIR DULU, simpen buku lo diatas meja gue baru tutup pintunya. Beresin sana buku-bukunya!"

Singa mulai mengaung, harimau tidak terima.

"Ceramah lo? Yang bego itu ELO udah tau cewek kesusahan malah diem aja kayak orang sinting. Lo lumpuh apa gimana? Nggak pernah diajarin jadi cowok sejati?"

Rasha pura-pura melihat keatas untuk berfikir "Eh, lo kan homo hehe." kemudian menutup mulut dengan tangan kanannya sembari meledek.

Gadis itu menendang semua buku yang tadinya terjatuh. "Nih, belajar sendiri. Nggak ikhlas gue ngajarin orang biadab kayak lo. Sekalian aja nggak usah lulus, hidup lo cuma jadi parasit buat gue."

Luke menghampiri buku-buku yang ditendangnya dan membereskan semuanya satu-persatu. Ia mulai menyeringai, "Belaga ya lo. Nggak pernah punya perasaan."

"Hah?"

Luke berdiri didepan Rasha dengan wajah menunduk karena gadis itu lebih pendek darinya. "Gue cuma mau ngingetin, mungkin sekarang lo benci banget sama gue. Tapi sebenernya, gue lebih benci sama lo."

"Iya gue tau." Jawab  dia singkat.

"Lo bilang gue itu parasit di hidup lo, kan? Dan posisi lo sekarang nggak jauh beda sama apa yang lo omongin ke gue." Luke menajamkan pandangan dan suaranya.

Ia melanjutkan perkataannya. "Lo juga salah satu faktor penghambat kebahagiaan gue."

Fool • l.hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang