[Author~pov¤]
Adam masih sibuk dengan layar laptopnya. Duduk fokus menatap layar yang secara otomatis memutarkan satu per satu foto liburannya dengan Raffa sejak dulu. Lebih tepatnya dia mengenang kebersamaannya dengan Raffa. Senyum tipis tergambar jelas sedari awal potret fotonya menggendong Raffa kecil hingga memandikannya.Adam melakukan hal ini semata hanya untuk buah hatinya. Raffa sudah tidak memiliki seorang Ibu di masa hidupnya. Setidaknya Adam telah memberikan kenangan indah untuk Raffa kelak besar nanti. Walaupun Adam sadar kenangan dengan seorang Ibu itu tidak ada yang bisa menyaingi. Sekalipun kenangan dengan dirinya.
Adam masih menatap layar monitornya. Mata indahnya itu menatap dalam layar yang membawa memori kebersamaannya dengan buah hatinya. Hingga tanpa ia sadari tetes air mata mengalir turun dari pelupuk matanya. Adam tidak bisa membayangkan bagaimana bila nantinya sesuatu memisahkan mereka. Takdir, atau mungkin kematian.
Tangannya yang kokoh menyekah air mata yang mengalir perlahan di wajahnya. Menarik napas dalam seolah dengan dirinya dia berkata, "Apapun yang terjadi nanti entah itu kematian atau apapun ayah akan membuatmu bahagia selagi ayah bisa. Ayah akan bertahan disegala kesakitan ayah demi melihat senyum dan tawamu nak."
Waktu sudah menunjukkan angka dua belas. Namun, Adam masih bernostalgia dengan kenangannya.
Raffa sudah terlelap sedari tadi. Setelah ia bosan dengan mainannya lalu meminta segelas susu ke ayahnya, Raffa langsung masuk dibalik selimutnya.
Adam diam terpaku ketika melihat gambar Bastian muncul di layar komputernya. Wajahnya yang bersih terawat membuatnya terlihat lebih feminin dengan gaya foto sambil menggembungkan kedua pipinya hingga membuat bibirnya yang ranum terlihat kecil mengerucut.
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba merasuk dalam diri Adam. Perasaan yang sama seperti pagi hari itu. Adam tidak mengerti dengan perasaannya. Bahkan hanya dengan melihat foto Bastian saja sesuatu menggembirakan seakan sedang terjadi dalam kamar tidurnya. Hingga tanpa sadar Adam merekahkan sebuah senyuman di wajahnya.
~#~
Keesokan harinya.
Bastian sudah duduk di depan meja rias. Seorang make up artis sudah memoles wajah Bastian dengan make-up yang natural. Bastian sendiri sibuk memainkan ponselnya. Memastikan Bintang benar-benar sudah datang melihat runway nya sekarang.Riuhnya backstage bertema Kearifan Lokal Nusantara menjadi hal yang lumrah dalam dunia modeling. Terutama bagi model-model wanita di sebelah Bastian. Entah itu yang di bicarakan masalah kebanggaannya masuk runway ini hingga bangga akan kelebihan mereka masing-masing.
Bastian hanya diam tak menggubris percakapan tak berguna wanita-wanita di sebelahnya. Dan yang membuat Bastian dongkol si make-up artis yang memakeup-i dia juga turut nimbrung omongan wanita di sebelahnya, sambil terus memakeup-i wajah Bastian.
"apa make-up saya sudah selesai mbak?" Ucap Bastian menahan diri sambil menaruh ponselnya ke dalam tas setelah Bintang membalas pesannya.
"oh... iya sudah." Ucapnya sedikit terbata. "langsung saja ke bagian kostum. Di sebelah sana." si tukang make-up menunjukkan arah dimana tempat kostumnya.
Ada sekitar dua puluhan lebih model yang berkumpul jadi satu di dalam backstage. Dan untung saja backstage tersebut cukup besar dan full AC. Belum lagi crew yang bertugas, sepuluh tukang make-up, lima kordinator kostum, tiga kordinator acara, dan satu komentor.
Bastian berjalan menuju bagian kostum. Sepuluh menit lagi acara akan segera dimulai.Beberapa ada yang sudah mengenakan kostumnya sambil menenangkan rasa gugupnya. Ada pula yang sedang groovie di sudut ruangan.
"Semua harap berkumpul."
Suara berat Henky tiba-tiba memecah keriuhan suasana backstage. Dan tanpa menunggu lama semua model merapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEIGHBOUR
Randomhai pembaca semua. perkenalkan panggil aja gue Hill. ini cerita pertama gue di wattpad. inspirasinya sih dari sitkom tetangga masa gitu. cuma genrenya romansa sejenis. garis besarnya sih tentang beratnya perjuangan Bastian untuk menghilangkan perasa...