[Author~pov¤]
"Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Bas?" Seru Riska.
Di depan pintu masuk bandara internasional Riska menggamit erat tangan sahabatnya. Menatap penuh kerapuhan terhadap apa yang telah sahabatnya alami. Merasa terlalu khawatir dengan luka gores yang bisa saja runtuk seketika.
Bastian mengangguk pasti seraya mengulum senyum tipis di sudut wajah tampannya. Melempar keyakinan pada kerguan hati sahabatnya itu.
Memandang senyum Bastian yang tersirat kegetiran itu Riska menghambur masuk kedalam pelukan tangan Bastian. Tidak mampu lagi menahan air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuknya.
"Ris, I'm ok. Kamu nggak perlu kawatir lagi." Bastian melepas pelukannya. Menggenggam pundak Riska seraya menatap dalam matanya. "Percaya sama aku. Kamu fokus saja dengan karir mu disini. Sudah sejauh ini."
"Bas??"
"It's ok. I'll miss you."
sebelum Bastian benar-benar pergi, peluk hangat Bastian mendekap penuh kasih pada Riska.
~#~
Indonesia 11:47
Taxi yang mengantar Bastian dari Bandara sampai di depan rumah Bastian. Penumpang yang dibawahnya tengah lelah terlelap di kursi penumpang. Pak supir yang telah menyelesaikan tugasnya itu membangunkan Bastian yang jetleg karena penerbangannya tadi pagi.
Bastian melengkungkan punggungnya. Meregangkan tulang-tulangnya agar lebih baik untuk bekerja.
"Sudah sampai, pak?" Seru Bastian seraya menengok kanan kiri untuk memastikan dimana dirinya sekarang berada. Dan setelah yakin Bastian menengok jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Jadi berapa, Pak?"
"Seratus tujuh puluh ribu, Pak."
Bastian mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan dua lembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompetnya.
"Ini pak kembaliannya." Seru supir taxi itu sambil menyodorkan beberapa lembar uang kepada Bastian.
"Ambil saja pak. Tolong bantu saya ya pak. Tolong angkatkan koper saya ke dalam rumah."
"Oh, iya pak. Baik." Ucap Pak supir dengan semangat.
Sementara Bastian keluar dari dalam taxi sambil membawa tas samping cukup besar yang berisi barang-barang penting miliknya. Mata Bastian mengerjap beberapa kali memandang sebuah bangunan yang lama tidak dia lihat. Bangunan yang masih sama seperti yang terakhir kali Bastian ingat.
Warna cat yang sedikit pudar itu masih terlihat sama di mata Bastian. Bebatuan di jalan masuk gerbang rumahnya juga tertata alami seperti pertama dia menginjakan kakinya. Pintu Kayu berwarna putih gading itu juga sama seperti dalam fotonya berselfie gembira bersama mantan istrinya yang selalu tersimpan di dalam sela dompetnya. Angan Bastian seketika menjalar liar akan kenangan-kenangan yang telah dia lukiskan di setiap sudut istana idamannya ini.
"Maaf pak kopernya mau di taruh mana?"
Bastian mengerjap buyar dari lamunannya.
"Oh, taruh sini saja pak. Biar saya sendiri yang membawanya masuk."
"Baiklah, pak. Kalau begitu saya pamit dulu."
"Iya pak. Sekali lagi terimakasih ya pak."
Bastian merogoh kantung celananya. Meraih kunci rumah yang sudah lama tidak terbuka ini. Hatinya tak kunjung berhenti berdebar berhadapan dengan kenangan yang belum kering dalam ingatannya. Mau kering bagaimana, jika setiap seminggu sekali Bastian selalu menanyakan kabar Bintang kepada Ria sahabat mereka melalui pesan internet. Bahkan sekarangpun besar niat Bastian untuk segera melihat wajah cantik perempuan yang menjadi ratu hatinya itu. Bastian membuka pintu rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEIGHBOUR
Randomhai pembaca semua. perkenalkan panggil aja gue Hill. ini cerita pertama gue di wattpad. inspirasinya sih dari sitkom tetangga masa gitu. cuma genrenya romansa sejenis. garis besarnya sih tentang beratnya perjuangan Bastian untuk menghilangkan perasa...