Buku harian. 31 Desember, 2010
Namaku Rachel, sekarang umurku 17 tahun--dan setengah kurasa. James memaksaku membuat buku ini, jadi tak apalah--aku juga tidak keberatan.
Baiklah, bagaimana aku harus mulai? Kurasa dari awal.
Sudah lama aku mendambakan ini. Jalanan adalah hidupku. Angin adalah musikku. Burung-burung adalah temanku. Kupikir aku tidak bisa berada sejauh ini, tetapi ini sudah lebih dari ekspetasiku. Kurasa kehidupan seperti ini lebih baik. Awalnya pun aku sangat tak menduganya. Awal dari hidupku yang baru ini pun sangat tak masuk akal.
Jadi bisa dikatakan ini berkah bagiku. Ini yang terbaik yang sudah Tuhan berikan. Aku akan bersyukur dan mengingatnya di dalam setiap kekosongan. Dan, Selamat Tahun Baru semuanya.
Pertanda,
Rachel, dan James03 Januari, 2009.
Kemarin sangat berbeda. Di dalam, aku berteriak, dan hatiku menyuruhku berloncat kegirangan. Itu tindakan yang sangat berlebihan jika aku melakukannya--dan ya, kadang istilah-istilah lebay muncul di dalam kepalaku seperti ini. Intinya, hari itu tidak seperti biasanya.
Suatu keberuntungan mendadak geng Amy tidak mengangguku lagi. Maksudku, setiap minggu mereka mengangguku minimal 2 kali. Yang paling ringan adalah mereka mengambil jatah makan siangku. Mungkin mereka akan berhenti menggangguku apabila aku tidak seperti ini. Gadis pendiam yang menghabiskan waktu istirahatnya membaca buku. Kurasa kebanyakan gadis yang lain terlihat lebih modis dan genit. Aku tidak pernah mengidolai satu pun cowok--semua cowok aku anggap berengsek,tapi mungkin tidak semuanya. Paling parah geng Amy membenamkan kepalaku di dalam toilet lalu mengunciku. Perutku selalu terasa di pukul setiap memikirkannya (Aku pernah memikirkannya sekali di perpustakaan. Itu membuatku meringis disana tanpa sebab).
Setidaknya keberuntungan beruntun turut serta mengikutiku. Kemarin guruku mengatakan kalau kelasku terpilih untuk mengikuti perjalanan menuju perkemahan di Virginia. Aku sering kali kesana. Terakhir bersama ayah dan ibuku, sebelum mereka pergi meninggalkanku--dan tidak pernah kembali. Tempat itu bagaikan surga tersendiri bagiku--mungkin banyak surga yang lain di luar sana, tetapi ini yang pertama. Hutan pinus, danau, dan angin sejuk. Semua hal itu sirna dari kehidupanku. Aku menghabiskan 5 tahun terakhir melihat kanker ganas mengerogoti ibuku dari dalam, dan ayahku, dia hilang--pergi meninggalkanku.
Aku berharap bisa melihat batu ukiran ayahku yang dia tinggalkan di tengah hutan di sekitar Virginia. Aku tidak tahu nama tempatnya, tetapi ayahku mengatakan "ini Virginia, sayang." Dan sekarang aku hanya tinggal beberapa mil menuju tempat itu.
**********
Seperti darmawisata sebelumnya, aku duduk paling belakang. Geng Amy selalu berada di depan. Selalu. Tidak ada yang bisa menempati tempat duduk terdepan--tidak ada yang berani. Bahkan supir busnya pun begitu. Kuharap bukan sebuah keberuntungan sementara kalau geng Amy berhenti menggangguku.
Aku membuka jendela paling belakang, membiarkan angin masuk. Sepanjang jalan yang kulihat hanya hutan. Entah kenapa, itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku tidak tertidur. Aku bahkan tidak ingat hutan bagian ini. Dan tiba-tiba saja bisnya terhenti.
"Baiklah. Rachel. Disini kau akan turun." Semuanya terdiam. Bisnya hening. Itu suara Amy. "Ayo keluar!" Sudah kuduga keberuntungan tidak bisa terlalu lama denganku.
"Apa maksudmu?" Aku berharap dia tidak mendengar kegetiran dalam suaraku. Aku sudah mencoba agar diriku bisa melawan. Tetapi tidak bisa.
"Kau pikir aku tidak akan mengganggumu lagi? Begini, ayahku membiayai perjalanan ini. Aku tidak mau kau ikut." Lalu dia meludah dan menarikku keluar dari bis "dan terimakasih sepatunya." Dia mengangkat sepatuku. Sial. Kapan dia melepasnya dari kakiku?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Ride to Home (On Going)
RomanceRachel tidak menyangka tersesat di hutan membuatnya bertemu dengan seorang cowok tampan, dan menyeretnya ke dalam perjalanan panjang menuju Virginia Beach. Sebelumnya, hidup Rachel adalah sebuah bencana. Kini hidupnya adalah anugerah. Dia menemukan...