James's POV.
05 Januari, 2009.
Aku menatap matahari yang mulai memanjat tangga-tangganya untuk menaiki langit dengan sangat hati-hati. Aku merasakan hangat di sekujur tubuhku walaupun aku mengenakan jaket. Hangatnya menjalar ke sekujur tubuhku seperti demam. Hal anehnya adalah aku mengingat kehangatan lain yang seharus tidak pernah terjadi: aku mencium Rachel.
Aku ingat bagaimana rasanya angin seakan-akan mendorong kami, gravitasi yang kuat antara aku dan Rachel, dan entah bagaimana aku yang membalikkan tubuhnya lalu menciumnya.
Aku berusaha menarik semua ingatan itu lalu memendamnya dan menguburnya jauh di dalam ingatan terbuangku. Aku berharap hubunganku dengannya tidak akan terjadi apa-apa dan kuharap dia berpikiran sama denganku. Aku tahu dia tidak siap, tetapi... sialan! Aku tidak tahu harus berpikir apa. Entah kenapa setiap aku berpikiran untuk tidak mencintainya, sesuatu di dalam tubuhku bergemuruh. Aku merasa dia merasakan hal yang sama, tetapi orang-orang akan berpikiran bodoh kalau aku jatuh cinta terhadap seorang cewek yang kutemukan sekarat di hutan. Dan aku tahu dia juga berpikiran sama.
Aku mendengar ranting patah. Aku berbalik. Rachel. Dengan rambut coklatnya yang berantakan dan mata Hazelnya yang berkilau dan seakan-akan membesar terkena sinar matahari. Dia tersenyum. Bibir merah muda kecilnya tertarik dan membentuk lesung pipit yang tidak terlalu timbul.
Aku berjalan mendekat ke arahnya lalu tersenyum balik padanya. Aku merasa aku lebih sering tersenyum setelah bertemu dengannya--kuharap dia tidak menganggapku mesum atau sejenisnya.
"Dimana kita?" Suaranya serak dan merdu bagaikan angin menenangkan saat badai, lalu aku mencoba fokus pada pertanyaannya.
Aku menjawab dengan gelengan.
Lalu aku menarik tangannya sampai dia berdiri sepenuhnya. "Aduh!"
"Ada apa?" tanyaku. Dan aku melihat ke bawah. "Astaga! Kenapa kau tidak bilang kau tidak punya sepatu?" Bodohnya aku tidak melihat.
"Aku tidak mau merepotkan. Aku juga sudah terbiasa dengan telapak kakiku." Dia tertawa. Ya Tuhan, aku mungkin sekarang akan pingsan. Tawanya tulus dan membuatnya menjadi isyarat "jangan khawatirkan aku".
Dengan cepat aku menariknya, lalu menggendongnya di punggungku. Awalnya dia panik, setelah itu dia paham dan melingkarkan tangannya di sekitar leherku. Aku memegangi kakinya lalu mulai berjalan keluar dari hutan melalui arah sebaliknya dari perkemahan Brown Moose.
**********
Detak jantung Rachel menembus punggungku dan hampir seirama dengan punyaku. Rambut coklatnya terjuntai melewati pundakku, dan baunya seperti stroberi--aku sekarang merasa konyol. Aku memperhatikan setiap inci dari tubuhnya. Kuku-kukunya yang di cat biru muda, dan pipinya yang kadang berubah merah seperti saat di ladang jagung dan aku tahu dia tidak menyadarinya. Dari cerita hidupnya yang sering ditindas, aku tahu itu membuat dia membenci dirinya. Aku tahu dirinya serapuh sayap kupu-kupu dan sentuhan sedikit saja bisa merobeknya. Dia tidak pernah menyadari betapa cantik atau indah dirinya saat dipandang atau aksen dan logatnya yang enak didengar atau bibir merah muda kecilnya atau mata hazelnya atau rambutnya atau tangannya yang mulus atau apapun itu yang membuatnya sangat sempurna, dia tidak menyadarinya dan jelas sekali dia membenci dirinya karena hidupnya.
Nafas hangatnya berehembus dengan tenang dan stabil melewati leherku, membuat bulu romaku berdiri. Mulutnya bebau daun mint dan aku tahu tidak ada mahkluk yang memiliki nafas pagi seperti dia.
Aku berjalan dengan tertatih-tatih karena mataku masih mengantuk. Aku mengkuti angin berembun yang bisa mengantarkanku kepada air terjun. Tadi malam semuanya gelap, dan aku tidak tahu kemana kami semua kabur, aku bahkan tidak bisa melihat siapa yang sebenarnya mengejar kami. Tapi akhirnya kami bisa lolos.
Anginnya lambat-laun mulai basah dan bisa kupastikan air terjunnya sudah dekat. Aku mulai sedikit berlari dan akhirnya aku bisa mendengar suaranya. Dibalik pepohonan aku bisa melihatnya dan hanya saja itu bukan air terjunnya.
"Kau bisa menurunkanku," ucap Rachel, lalu aku menurunkannya.
Dia berjalan melihat-lihat ke sekitarnya dan dari matanya aku bisa melihat ke khawatiran.
"Kau tahu tempat ini James?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Apa kita tersesat?" tanyanya lagi.
"Kurasa begitu. Tapi kita masih bisa mencari perkemahan itu."
"Tidak aku tidak mau kesana!"
Lalu semuanya menjadi hening.
"Sebaiknya kita mandi," usulnya.
Aku tersenyum. Mendekat ke arahnya lalu mengenggam tangannya--ini dia, respon konstan dan aku membencinya sepenuhnya. Lalu aku membawanya kembali ke atas punggungku. "Kita cari danau saja," kataku.
********
Aku yakin pasti ada danau di sekitar sini, tapi agak jauh, jadi kuputuskan untuk mengajaknya bercerita. Dia mulai menceritakan tentang Amy kepadaku. Amy adalah anak orang kaya yang merekrut banyak orang untuk menjadi gengnya, dan Rachel adalah sasarannya. Dia terus menceritakannya dengan kemarahan dan beberapa kali dia melontarkan kata-kata sumpah serapah. Aku tertawa saat kupikir cara dia melontarkan kata-kata itu lucu. Lalu dari arah barat, kilauan danau terlihat.
**********
Rachel melepas semua yang ada di tubuhnya dan menyisakan pakaian dalamnya. Aku juga, tetapi seperti biasa, aku tetap memakai celana jeansku.
Seperti kemarin, aku meminta Rachel agar mau aku yang mencuci kepalanya, dan lagi, dia mengiyakan.
Aku membasahinya dan mulai memilah rambutnya. Bau stroberinya berebak. Aku bisa merasakan punggungnya pada kakiku. Dia tertawa saat tanganku menyentuh telinganya atau saat air meluncur melalu pipinya dan katanya itu geli. Setiap kali dia tertawa, ada sesuatu yang baru terbuka di dalam diriku. Sesuatu yang sudah kututup sejak lama. Sesuatu itu seharusnya tidak pernah lagi terbuka. Aku hendak mengatakan kepadanya aku sangat mencintainya, tetapi aku tidak mau seperti terakhir kalinya aku membuka sesuatu itu. Aku tidak mau dia menanggung risiko kehilanganku. Dan kejujuran mengerikan bahwa sebenarnya aku sekarat.
![](https://img.wattpad.com/cover/60621781-288-k546728.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Ride to Home (On Going)
RomanceRachel tidak menyangka tersesat di hutan membuatnya bertemu dengan seorang cowok tampan, dan menyeretnya ke dalam perjalanan panjang menuju Virginia Beach. Sebelumnya, hidup Rachel adalah sebuah bencana. Kini hidupnya adalah anugerah. Dia menemukan...