13 Januari, 2009.
Bisa dibilang aku baru tertidur selama beberapa jam. 4 jam menurut hitunganku. Kelihatannya Jane juga begitu. Apapun yang terjadi aku berusaha tidak memikirkannya.
Aku meraba-raba kantong mataku. Terasa lembek dan kendor, bisa dipastikan sekarang sudah menghitam.
Andai saja disini ada sesuatu seperti kedai kopi atau apapun itu. Kalau memang ada, iu pasti di kota, di bawah bukit.
Aku berdiri, meregangkan tubuhku sampai suara tulangku terdengar. Aku pergi ke van mengambil air kumur lalu berkumur.
Aku berjalan menuruni bukit sembari mengunyah permen mint di mulutku. Sejujurnya aku tidak tahu pasti kemana aku akan menuju, karena hari masih lumayan gelap.
Suara jangkrik masih ada dimana-mana, tapi sedikit demi sedikit suara burung bermunculan.
Pikiran-pikiran masuk dengan deras ke dalam benakku.
Kenapa aku bisa ada disini? Kenapa aku bisa jauh dari rumah? Kenapa aku bisa sebebas ini? Kenapa aku sekarang percaya diri? Kenapa aku bisa menginjakkan kaki disini--hampir dekat dengan Florida?
Aku takjub karena betapa ini seperti mimpiku. Hal yang kutakutkan sekarang adalah terbangun.
"Rachel!" Seseorang berteriak dari belakangku. Itu Jane. Dia berlari menuruni tanjakan bukit. Rambut merahnya hampir menyamai langit.
"Mau apa kau?" Tanyaku, berusaha terdengar mengancam.
Dia berhenti tepat di depanku dengan ngos-ngosan. "Maaf.." katanya lagi. "Ini permen kopi." Dia menjulurkan dua buah permen kepadaku.
"Baiklah," kataku,lalu aku mengambil permennya.
Aku berbalik kembali menaiki tanjakan. "Tunggu, kupikir kau mau ke kota."
"Tidak jadi."
Aku menelan permen mint yang ada di mulutku lalu mulai mengemut permen kopi pemberian Jane.
Jane kembali berlari untuk menyamaiku.
"Yang lain sudah bangun?" Tanyaku.
"Baru saja," jawabnya.
Saat kami berdua sampai di atas, karpet tadi sudah dilipat. Semuanya sudah hampir terbangun--hampir. Eliot dan Grisha masih terduduk di atas tanah, Stewart sudah berdiri, tapi jalannya seperti orang mabuk.
James memberikan permen mint dan air kumur pada mereka. Semua barang sudah disimpan.
Hari ini kami akan ke pantai.
*********
Fajar mulai menghilang. Warna merahnya mulai menjadi jingga dan menggeradasi dengan warna biru langit pagi.
Tidak ada yang benar-benar bicara saat ini. Semuanya masih mengantuk, bahkan tidak ada yang mau mendengarkan lagunya James.
Angin terasa dingin dan lembab dan hangat pada saat yang bersamaan. Aku mebolak-balikkan tanganku tanpa alasan yang jelas, tapi itu lambat laun membuat aku tidak mengantuk.
"Kau baik-baik saja?" Tanya James akhirnya.
"Ya. Aku cuma mengantuk."
"Masalah tidur?"
"Ya."
Lalu dia kembali diam dan seluruh van berada di dalam dasar dari laut keheningan.
Kedai-kedai dan perumahan mulai bermunculan. Mungkin dibutuhkan beberapa kilometer lagi untuk mencapai pantai.
Pohon-pohon berjajar teratur. Kami akhirnya memasuki jalan raya dan mobil-mobil bermunculan. Hari apa ini? Senin? Orang-orang disini jelas lebih pagi bangunnya.
Di trotoar terdapat beberapa orang yang sedang lari pagi dengan anjing mereka. Seorang pria latin berbadan besar sedang membuka tokonya.
Aku juga sempat melihat seorang reporter yang entah sedang mengabarkan apa.
Bangunan pencakar langit mulai menjulang tinggi. Jalan-jalan layang mulai terlihat.
Kotanya seakan-akan tumbuh membesar kalau dilihat dari dalam van yang melaju.
Pohon-pohon palm juga terlihat di kotanya. Cahaya matahari mulai bersinar terang. Cahayanya dipantulkan kaca-kaca jendela bangunan pencakar langit.
Kami masuk melewati terowongan. Aku bisa mendengar suara Eliot terkagum, dan jelas dia pasti tidak pernah kesini. Seisi van mulai kehilangan rasa kantuk mereka.
Sekarang vannya menaiki jalan layang, dan secara cepat rasa kantuk kami menghilang.
Burung-burung camar, dan angin yang basah. Pantainya sudah bisa terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Ride to Home (On Going)
RomanceRachel tidak menyangka tersesat di hutan membuatnya bertemu dengan seorang cowok tampan, dan menyeretnya ke dalam perjalanan panjang menuju Virginia Beach. Sebelumnya, hidup Rachel adalah sebuah bencana. Kini hidupnya adalah anugerah. Dia menemukan...