Bau Mint.

94 10 0
                                    

Aku sekarang berdiri sepenuhnya walaupun masih oleng. Aku berusaha berjalan keluar dan melupakan semua yang terjadi tadi malam. Denyut nyeri di dadaku bahkan sudah menghilang--bisa kupastikan itu bukan masalah serius. Aku bisa melihat mereka--teman-temanku--duduk di tanah sembari melempari batu kerikil ke danau.

Aku berjalan memutari gua menuju tempat lain. Ke dalam hutan. Anginnya masih berembun, sejuk, menanangkan, dan bisa diminum. Matahari berwarna jingga kebiruan dan bercampur putih terang sedikit demi sedikit. Sesuatu seperti ini sangat bisa berakhir puitis di buku harianku.

Aku memegangi sapu tanganku. Kadang aku mencium bau air mata, dan kadang aku masih bisa merasakan basahnya. Semua ini sangat menenangkan dan seharusnya bisa membuat pikiranku kembali berputar mundur mengingat hal-hal yang sudah kulewati, tapi anehnya itu tidak kunjung terjadi setelah aku terbangun.

Tanahnya basah dan bau hujan ada dimana-mana. Aku cukup yakin tadi malam sempat hujan atau gerimis. Lumut-lumut tumbuh di batang pepohonan dari arah matahari terbit. Semuanya tampak indah di alam bebas. Aku suka aroma pinus, embun, dan lumut, ini memungkinkan ada rusa di sekitar sini.

"James." Aku berbalik setelah kudengar seseorang memanggil namaku. Dan disana berdirilah Rachel yang mulai berjalan mendekat "Kau tidak sedang tidur berjalan kan?"

"Apa aku terlihat seperti itu?"

"Tidak sebenarnya. Tapi apa kau mau kutemani?" tanyanya.

"Baiklah," jawabku.

Kami berjalan berdampingan. Beberapa kali jalan Rachel atau aku terhambat oleh dedaunan atau akar-akaran, tetapi kami selalu berjalan beriringan dan tetap menyesuaikan langkah. Aku memberikannya beberapa daun mint, lalu kami mulai mengunyah bersama-sama. Anginnya mulai menjadi semakin hangat, dan aku tahu ini masih musim semi.

Aku melihat ke tanah dan melihat sepatu Stewart berada di kaki Rachel. Mungkin aku akan melontarkan pertanyaan tentang sepatu agar bisa berbincang-bincang dengannya. "Dimana kau mendapatkan sepatu itu?"

"Stewart. Katanya dia tidak memerlukan terlalu banyak sepatu." Dia memanjangkan dan mengangkat kakinya lebih tinggi sampai sepatu Stewart sejajar dengan pinggangnya. "Ngomong-ngomong, apa kau benar-benar tidur berjalan tadi malam?"

Aku terdiam dan dia juga merasakan kejanggalan yang mulai merayapi tubuhku. "Kasus pertama," jawabku.

Lalu dia tertawa. "Konyol."

**********

Kami berjalan sampai matahari mulai menampakkan setengah dari dirinya. Rachel mengatakan padaku bahwa dulu dia pernah berada disini bersama orangtuanya. Berkemah, waktu api unggun, bercerita seram, dan katanya ayahnya pernah mengukir nama keluarganya disini. Smith, itu nama belakangnya. Aku, Jane, dan Stewart memutuskan untuk tidak membahas tentang marga berhubungan dengan marga mereka berdua yang konyol. Rachel mengatakan kalau ayahnya pernah beberapa kali mencoba untuk memakan pinus dan akhirnya tersedak lalu berakhir di rumah sakit, dan katanya dia juga pernah berusaha untuk memakan pinus saat dia tersesat sebelum aku menemukannya tertidur di hutan. "Kukira bertahan hidup itu segampang reality show di televisi," katanya.

Aku tertawa lalu dia tertawa, aku berusaha untuk tetap tidak membicarakan tentang orangtua terlalu dalam karena aku akan tau kemana ujungnya akan berhenti. Dan aku bersyukur karena akhirnya dia sendiri yang mengubah pembicaraan menjadi kisah hidupnya. "Geng Amy mengejekku sebagai anak Tomboy karena lebih suka dengan lagu-lagu Rock sejak sekolah dasar. Dia menyebarkan gosip bahwa aku adalah lesbian saat di smp, lalu seterusnya adalah kesengsaraan tidak terhingga. Kadang dia mengejek gaya rambutku."

"Astaga, kau tidak pernah memberitahu siapa pun?"

"Tidak," jawabnya.

"Kenapa?" Serius, aku sangat bingung dan di sisi lain aku sangat tertarik oleh pemikiran Rachel--membuatku ingin menelusuri pikirannya lebih dalam.

"Kau tahu, kita tidak selalu bisa mengeluh atau memberitahu seseorang tentang kesengsaraan kita di sekolah. Kadang yang terbaik hanyalah menunggu karma datang, dan kadang yang terburuk adalah merintih dalam hati."

"Kurasa tidak semua perempuan bisa berkata-kata sebagus dirimu." Kuharap itu tidak terdengar gombal ya Tuhan.

Dia hanya meresponnya dengan tawanya yang khas dan itu sangat jauh berbeda dari gadis yang kutemui di hutan. Kulitnya sekarang lebih terang dan tidak sepucat kulitnya seminggu yang lalu, dan warna coklat rambutnya kelihatan lebih muda dan tua di bawahnya. Dan yang paling aneh, aku bisa melihat sedikit warna hijau di dalam warna coklat hazel di matanya. Dan sangat jelas sekali aku tidak bisa melihat cewek rapuh lagi dari dalam dirinya.

"Apa kau merasa kau berubah drastis?" tanyaku.

"Berubah seperti apa?" tanyanya balik.

"Perubahan baik," jawabku.

"Begitulah kurasa," jawabnya dengan senyuman dan itu membuat ototku menegang, buku-buku jariku berkedut begitu juga rahangku. "Kau tahu kemana aku akan membawamu?"

Lalu kami berhenti berjalan. "Ke jurang," jawabku.

**********

Aku duduk di tepian jurang bersama Rachel, memandang matahari yang mulai terlihat sepenuhnya dari belakang lautan hutan pinus dan kabut tebal yang mulai menipis. Awan-awan berubah warna menjadi seperti buah persik dan terlihat bergerumbul bagaikan ombak yang siap menhantam tepian pantai lalu tercerai berai. Garis-garis pesawat bisa terlihat ikut mewarnai udara. Di dalam kesunyian yang tenang, angin mulai datang bersemilir menembus melewati lubang-lubang di tebing, menciptakan suara-suara indah.

"Aku tidak pernah menyangka sebelumnya kalau jurang bisa sangat indah seperti ini," ucap Rachel.

Aku tertawa lalu berbalik menatap wajahnya yang semakin terang setiap detiknya. Waktu terasa berhenti, dan aku bisa merasakan angin hangat yang melewati kami. Aku mengukur jarak antara bibirku dengan bibirnya. Menghitung berapa jumlah titik uap air pada nafasnya apabila itu mungkin. Mencermati setiap warna hijau dan hazel yang saling berbaur dan menggeradasi. "Kalau begitu kau seperti jurang," kataku.

Lalu dengan cepat dia menciumku. Aku memegangi punggungnya dan dia memegangi belakang kepalaku. Setiap kali bibir kami menyentuh terlalu dalam, semakin dekat pula tubuh kami. Aku bisa merasakan mint dari bibirnya dan rasa Corn Flakes yang melekat. Rambutnya sangat lembut dan lurus apabila di sentuh. Setelah itu dia melepaskan ciumannya lalu mendekatkan wajahnya dengan wajahku.

Hidung kami saling bertemu dan kami berdua tertawa. "Aku selalu ingin mengatakan ini," kataku.

"Katakan saja," jawabnya.

"Aku cinta padamu. Kumohon, jangan benci padaku."

Dia tertawa dan bau mint keluar dari mulutnya "Tidak akan kau konyol," jawabnya.

A Ride to Home (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang