Aku sekarang mengapung, memandangi langit, menikmati angin, dan menghirup bau pinus dengan sepuasnya. Seharusnya ini adalah saat-saat yang sangat tepat untuk menyalakan lagu indie atau folk kesukaanku, dan benar saja air hampir memenuhi mulutku karena aku bernyanyi sendiri. Dulu disaat-saat seperti ini self-talkku selalu kambuh. Self-talk--berbicara sendiri dengan suara-suara khayalan, dan sekarang aku lebih sering memendam suara-suara itu dengan pikiranku yang lain. Bukan sesuatu yang pantas dibanggakan memiliki masalah psikis seperti self-talk, tapi setelah aku divonis memiliki kanker di dekat paru-paruku, aku menjadi depresi dan mulai menjawab semua pertanyaan dari suara-suara di dalam benakku. Saat umurku 14 tahun, aku mengeluh kepada pamanku tentang sesak nafas yang kadang melandaku, setelah kami ke dokter, pemeriksaan menyatakan tentang kanker kecil yang mulai menyebar di dekat paru-paruku dan mungkin aku masih bisa hidup selama 6 tahun. Sekarang, aku berusaha menyimpan semua beban di dalam diriku agar bebanku bertambah lalu menekannya sehingga tubuhku menjadi berat dan aku bisa tenggelam. Aku berusaha menahan semua kepedihan dari kenyataan bahwa ini tahun terakhirku.
Aku selalu membayangkan seorang pengabul permintaan mengetok pintu rumah pamanku lalu mengabulkan setiap permintaan yang kami minta. Mungkin hidupku sangat cocok bagi novel-novel remaja kebanyakan atau film layar lebar, tapi aku tahu tidak ada yang mau menonton pemuda kanker putus asa. Aku selalu mengusahakan agar lagu-lagu, film-film, dan novel-novel yang kubaca bisa memunculkan semangat hidup bagiku, dan hasilnya hanya harapan malaikat pencabut nyawa datang kepadaku saat aku tertidur--mungkin karena kebanyakan film dan novel yang kubaca tentang sakitnya kematian. Kematian bukan sesuatu yang bisa dibilang "memuaskan", katanya akan ada rasa sakit yang melebihi apapun yang pernah kita rasakan, oleh karena itu aku berharap aku mati saat tertidur.
Saat umurku 15 tahun, aku mulai merasakan sakit yang sangat mendalam di dada kananku. Kemoterapi merontokan rambutku dan membuat jalanku susah dengan kabel-kabelnya. Aku sempat beberapa kali berpikir aku pasti bisa menghadapi ini seperti aku menghadapi masalah lainnya yang menurutku lebih berat daripada ini, tapi aku tahu aku salah saat aku menginjak umur 16 tahun.
Di umur 16 tahun aku mulai putus asa, dan aku mencoba membunuh diriku sendiri beberapa bulan setelah paman dan bibikh kehabisan uang untuk kemoterapi, itu membuat bibiku kadang menangis saat malam dan aku merasa aku hanyalah beban pada kehidupan paman dan bibiku yang indah. Aku bukan apa-apa melainkan sesorang yang menunggu ajal dan menghabiskan uang untuk menundanya. Kadang dalam setahun aku selalu menahan sakit di dadaku dan berdoa. Aku selalu ingat gudang yang mau kupakai untuk menggantung diri. Aku harus menahan makan dan haus, sehingga saat aku mati aku tidak akan buang air. Setelah percobaannya, aku digagalkan oleh pamanku. Aku beberapa kali mencoba untuk memotong nadiku setelah gagalnya percobaan pertama. Setelah itu, pamanku memasukkanku diperkumpulan pengidap kanker.
Pada umur 17 tahun, semuanya mulai menjadi kacau bagiku. Bibiku meninggal karena tertabrak, pamanku mulai sering menyendiri dan depresi, itu sama seperti kehilangan sosoknya. Pada saat itu, aku berhenti mengikuti perkumpulan pengidap kanker dan lebih sering menghabiskan waktuku untuk mengurus pamanku.
Pada umur 18 tahun aku kabur dari rumah dengan bekal kamera.
Sejak saat itu, aku berkerja sebagai fotografer.Di umur 19 tahun, aku bertemu Jane dan Stewart dan seterusnya kami selalu bersama, dan tahun ini adalah tahun terakhirku, dan aku belum menceritakan apapun kepada mereka tentang penyakitku. Selama ini aku menceritakan kebohongan tentang masa laluku kepada semuanya. Kebohongan yang sempurna. Dan aku percaya suatu saat, aku akan terjatuh dan selang-selang itu akan mengikatku lagi, merontokan rambutku, mengahancurkan hidupku, dan memperlambat kematian yang kutunggu.
Yang kumau hanyalah kematian sehingga tidak ada yang merasa terbebani.
**********
Aku kembali ke darat lalu memasang pakaianku. Lalu aku kembali menggendong Rachel--dia sudah menolak, tapi aku memaksanya.
"Kenapa kau lama sekali?" tanya Rachel sembari menjulurkan kepalanya ke samping wajahku.
"Aku harus mengunyah beberapa daun mint dan... rahasia."
"Baiklah."
Kami akhirnya berjalan keluar dari hutan setelah beberapa kilometer ke barat. Kami menemukan jalan yang sama seperti saat kami datang tadi, dan dari utara, sebuah mobil van melaju kencang. Rachel berteriak, dan aku menunduk, lalu mobilnya berhenti.
"ASTAGA JAMES!" tanpa kusadari, van itu adalah mobilku sendiri. Dan sudah kuduga, Stewart yang mengemudikannya. "Aku tidak melihatmu. Kupikir kamu tertangkap di perkemahan."
"Tidak apa," kataku sembari berjalan melewatinya.
Aku membuka pintu mobil lalu duduk di dalamnya. Aku menyenderkan kepalaku pada kursi mobil dan menghembuskan nafas sepanjang yang aku bisa. Van ini selalu membuatku bahagia.
Jane kelihatannya tertidur nyenyak di belakang dan mungkin dia tidak merasakan apa-apa saat Stewart mengemudikan van--maksudku, dia selalu mengoceh tentang betapa buruknya Stewart dalam menyetir van.
"Baiklah. Kita tetap akan ke Virginia Beach kan?" Itu Rachel yang bertanya.
Sesaat aku terdiam dan kelihatannya itu membuatnya ragu kalau aku tidak akan melanjutkan perjalanan kesana. Aku lupa tentang Virginia Beach dalam satu malam dan malah memikirkan tentang sekarat. Aku berusaha membuat pikiranku fokus pada pantai itu. "Iya," kataku. "Kita akan kesana."
**********
Supermarket dan ladang jagung sudah kami lewati, dan kami menghabiskan satu hari untuk balas dendam. Aku yakin perkemahannya pasti melaporkan kejadian ini, tapi aku juga yakin tidak ada yang bisa mengenali kami malam tadi. Cepat atau lambat, Amy pasti sudah panik karena tato itu. Entah kenapa, membalaskan dendam seseorang membuatku senang.
Aku memainkan lagu indie yang sama lalu memutar volumenya untuk mengecilkannya. Angin tidak berhenti masuk melewati jendela. Jane dan Amy si kucig masih tertidur, Stewart membaca bukunya lagi dan kelihatannya sudah melupakan hal yang terjadi tadi malam, dan Rachel mengeluarkan kepalanya di jendela.
"Apa kalian selalu berpergian?" tanya Rachel. Awalnya kukira itu hanya bisikan, sampai akhirnya dia berbalik melihatku.
"Ya," jawabku.
"Kalian pernah terjebak pada masalah sosial sebelumnya?"
"Seperti apa?"
"Lupakan." Dia tersenyum.
"Kau pernah punya pacar?" Aku tidak tahu kenapa aku bertanya mengenai ini, tapi kata-kata itu sudah tercerai berai bersama angin dan terdengar oleh Rachel.
"Tidak," jawabnya. "Apa yang orang pandang dariku? Bahkan orang-orang hampir menganggapku tak ada."
"Tidak. Kurasa kau nyata. Aku suka memandangmu." Sial. Kenapa aku mengatakannya.
Aku bersyukur dia hanya menanggapinya dengan tertawa, lalu kembali mengeluarkan kepalanya ke jendela. Sebelum itu, aku bisa melihat wajahnya yang memerah. Dan aku berani sumpah tadi dia berbisik sesuatu.
Aku cinta padamu, itu katanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Ride to Home (On Going)
RomanceRachel tidak menyangka tersesat di hutan membuatnya bertemu dengan seorang cowok tampan, dan menyeretnya ke dalam perjalanan panjang menuju Virginia Beach. Sebelumnya, hidup Rachel adalah sebuah bencana. Kini hidupnya adalah anugerah. Dia menemukan...