James dan T-shirt putih.

104 12 2
                                    

James melaju dengan cepat menuju arah kami semua datang. Kami akan kembali ke hutan. Kenapa dia begitu peduli? Aku hendak bertanya, tapi kurasa itu terlalu kejam. Aku tidah tahu apa yang salah denganku. Aku selalu saja menahan apa yang ingin kukatakan. Apapun yang terjadi, aku selalu begitu. Aku tahu yang harus kulakukan adalah melepaskan kata-kata itu dari mulutku dan membiarkannya melesat menuju orang yang kuinginkan. Baiklah Rachel, kali ini saja. "Kenapa kau begitu peduli?" Akhirnya kata-kata itu keluar.

Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa memang hal benar untuk bertanya, karena suasana menjadi hening dan hanya ada suara ban menggilas kerikil. James berbalik lalu terkekeh. "Kita semua saudara."

**********

Supermarket dan Ladang jagung sudah kami lewati, dan akhirnya kami kembali masuk ke dalam hutan melewati jalan yang sama. Perutku mencelus setiap kali vannya bergoyang karena menggilas batu besar. Aku melihat tempat dimana aku didapatkan oleh mereka, dan tidak terasa itu baru saja kemarin.

Vannya berbelok tajam dan akhirnya kami berjalan lurus di jalan dimana Amy menelantarkanku. Dan pada saat ini aku sudah merasa sangat dekat. Aku berusaha menutup mataku karena tidak tahan dengan ini semua. Kenapa aku tidak tahan? Dramatis. Aku terlalu dramatis, mungkin itu sebabnya orang tidak mau terlalu dekat denganku, atau mungkin orang-orang merasa aku tidak ada. Aku ingat saat aku menikmati angin bersama dengan orangtuaku. Saat-saat dimana aku terakhir kalinya tertawa.

Kami melewati air terjun dan berhenti beberapa kilometer sebelum sampai di perkemahan. "Kita tunggu malam," ujar James.

**********

Stewart dan Jane duduk-duduk di atas dedaunan kering di tanah sambil tertawa dan melontarkan beberapa lelucon sarkastiknya Jane yang seharusnya menyindir Stewart tetapi malah membuatmereka tertawa. Aku duduk di mobil sambil memainkan buntut Amy--si kucing. James pergi entah kemana, tetapi bisa kupastikan dia pergi ke air terjun.

Setelah beberapa menit, Jane dan Stewart mulai melepaskan sepatu mereka. "Kau mau ikut mandi di air terjun?" tanya Jane, dan seketika aku terkejut. Aku tidak mengingat apapun tentang mandi atau apapun itu. Tapi bagaimana kalau aku berbau?

Butuh beberapa menit untuk mengumpulkan keberanian untuk mengatakan "Iya, aku ikut,"balasku.

Lalu kami berjalan menuju air terjun. Aku tidak tahu, dan aku tidak memikirkan ini. Aku selalu tidak percaya diri dengan bentuk tubuhku. Ukuran dadaku, pinggangku, dan bagaimana aku terlihat tanpa pakaian, tetapi aku harus membuang pikiran itu sejauh mungkin yang kubisa. Aku bisa memulai segalanya dari awal tanpa perlu malu atau minder.

**********

Aku melihat James duduk di atas batu berlumut dengan T-shirt putihnya. Dia berbalik saat mendengar langkah kami. Stewart dan Jane berhenti lalu melepas semua pakaian dari tubuh mereka dan menyisakan pakaian dalam mereka. Aku awalnya ragu, tetapi aku memaksakan diri untuk melepas pakaianku. James melepaskan T-shirtnya, dan aku berusaha untuk tidak terus melihat ke arahnya.

Aku berjalan mendekat ke kolam, lalu memasukkan tubuhku dengan perlahan. James datang dari samping, lalu memegangi tanganku sampai aku masuk sepenuhnya ke dalam air. "Kau mau aku bersihkan kepalamu?" tanya James.

Aku tersenyum dan menjawab, "Boleh."

Aku bisa merasakan tubuh James yang menempel pada punggungku dan aku bisa merasakan setiap relief tubuhnya dan bisa membayangkannya dengan hanya merasakannya. Tangannya yang keras seperti batu mulai memilah-milah rambutku dan memberikan sedikit air. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlalu menikmatinya, tetapi aku sudah memejamkan mataku.

Aku sudah melupakan rasa maluku berdiri tanpa pakaian saat dilihat James, Stewart, dan Jane. Aku suka gaya hidup mereka. Mereka sangat menikmatinya. Air dingin, angin berbau pinus, dan embun, dan Corn Flakes--astaga, aku harus berhenti memuja Corn Flakes sialan itu. Setiap pijatan tangan James pada kepalaku melepaskan setiap beban yang kupikirkan dan menyimpan kenangan indah untuk tetap di dalamnya.

"James," Kataku.

"Ya?" jawabnya.

"Terimakasih," kataku. Aku berdiri lalu berbalik dan menatapnya dengan lekat di matanya. "Aku sudah berani," kataku. Lalu aku memeluknya, dan dia membalasnya. "Senang bersahabat denganmu."

"Ya," katanya.

Aku melepaskan pelukannya dan kembali menatap matanya yang lebih biru daripada laut, langit, batu safir, ataupun warna tua yang seperti cat, matanya dingin dan juga menghangatkan. Dia tersenyum dan aku bisa melihat rahangnya yang berkedut dan betapa itu sangat tampak seperti ukiran. Dan aku tahu aku yang mengatakan kalau kami sahabat.

Buku Harian James. 03 Januari 2009.

Aku tidak menyangka Tuhan meninggalkanku Malaikat yang tertidur di hutan. Aku bisa melihat pipinya yang tirus dan rambut coklatnya yang indah. Dan apabila memang benar Tuhan meninggalkannya untukku, dia mungkin akan pergi meninggalkanku setelah kubangunkan dia.

Aku tidak bisa berhenti menatapnya saat tertidur. Aku berusaha membuat teman-temanku untuk tidak membangunkannya terlalu cepat. Dari wajahnya, aku bisa melihat dia penuh dengan kerapuhan, dan aku tahu dia bagaikan sayap kupu-kupu yang rapuh.

Buku Harian James. 04 Januari 2009.

Namanya Rachel.

A Ride to Home (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang