Hidup seperti air.

91 7 2
                                    

Aku hanya terdiam sesaat setelah aku berpikir tentang "sekarat". Aku membenci diriku setiap kali memikirkannya. Entah kenapa pikiran itu hanya masuk dengan sendirinya seiring sesuatu itu terbuka di dalam diriku. Perutku terasa mencelus, sakit, dan serasa seakan-akan berjuta-juta kupu-kupu terbang di dalamnya. Aku tidak bisa jujur kepada siapapun dari mereka, termasuk Jane dan Stewart. Mereka pasti akan menyuruhku pulang, dan terpaksa aku memberitahu hal yang sebenarnya, dan kehidupan bebas ini akan raib tertelan oleh masa hanya karena mengetahui aku sekarat. Semua yang tadinya jernih sekarang seperti terinjak dan endapan keruhnya bercampur kembali.

"Ada apa?" Rachel berbalik lalu bertanya dan aku terkesiap kaget, dengan cepat aku menggeleng dan seperti biasanya, aku tersenyum.

Wajahku panas, semua tubuhku panas karena marah. Aku marah pada diriku, aku marah pada hidupku, aku marah pada kenyataan yang sebenarnya bahwa orangtuaku tidak menginginkanku, aku marah pada diriku karena lemah dan pergi meninggalkan orang yang menyayangiku, aku marah pada diriku yang selama ini berbohong tentang kecelakaan orangtuaku. Yang kuinginkan hanyalah mati. Tapi aku takut--semua orang pasti berusaha mengubahnya. Stewart, Jane, Rachel... Rachel, aku tidak tahu apa yang salah denganku, tapi aku tidak bisa berhenti memandang wajahnya dan entah kenapa dia--mereka, menumbuhkan kehidupan di dalam diriku lebih cepat daripada kankerku. Andaikan mereka tahu apa yang akan kutuntut untuk terakhir kalinya di dalam hidupku, itu adalah dicintai lagi.

"Menurutmu bagaimana rasanya menjadi air?"

"Apa?" aku tidak yakin kalau aku mendengar apa yang tadi Rachel tanyakan, tapi kurasa dia bertanya tentang rasanya menjadi air.

"Tak apa," ucapnya lagi.

"Aku selalu ingin menjadi air," kataku cepat--berharap dia mungkin masih mempertanyakannya.

"Ya, aku juga." Terima kasih Tuhan, dia masih merespon. "Mereka tidak punya kehidupan. Mereka hanya mengalir dan kadang mereka berhenti mengalir dan tetap berada di satu tempat atau genangan dan mereka tidak merasa bosan karena mereka tidak memiliki kehidupan. Intinya aku hanya mau--"

"Hidup seperti air, hanya mengikuti arus dan saat berhenti, kau berhenti," sambungku.

Dia terdiam, lalu tertawa seakan-akan apa yang dia inginkan adalah hal aneh dan mustahil. Tapi aku bisa mengerti. Aku mengerti karena aku juga benci hidupku "Ya. Menarik bukan?" ucapnya kembali.

"Ya," jawabku. "Tapi bagaimana dengan bintang?"

Dia tertawa "Aku tahu itu terdengar konyol, tapi aku juga pernah berharap aku ini adalah bintang, tapi kurasa kita kurang lebih begitu."

"Apa maksudmu?"

"Bintang ada bermiliar-miliar di angkasa luar--atau mungkin lebih. Beberapa dari mereka menyendiri, kita kurang lebih begitu. Kita sendirian di alam semesta. Beberapa dari bintang memiliki yang terkuat dan terlemah. Kadang dari yang terkuat akan ditelan lubang hitam. Cukup rumit untuk menjelaskannya, tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kita kurang lebih begitu. Intinya mereka memiliki yang terkuat, terlemah, tertindas, dan karma. Tidak ada gunanya kita menjadi mereka, kita tetap akan memiliki kehidupan yang sama."

"Kalau begitu aku akan menjadi air." Lalu kami tertawa.

Dia berdiri dari air dan tersenyum padaku, setelah itu dia berjalan menuju daratan dan memasang kembali bajunya.

"Kau bisa memiliki privasimu, kau bisa melepas celana dalammu. Ngomong-ngomong terimakasih," ujar Rachel, lalu dia berjalan pergi.

**********

Aku melepas celana jeansku lalu meleparnya ke darat. Setelah itu, aku membenamkan diriku sepenuhnya di dalam air. Aku berusaha mengingat apa yang baru saja Rachel katakan tentang air dan kehidupannya.
Mereka tidak punya kehidupan. Mereka hanya mengalir dan kadang mereka berhenti mengalir dan tetap berada di satu tempat atau genangan dan mereka tidak merasa bosan karena mereka tidak memiliki kehidupan. Intinya aku hanya mau hidup seperti air, hanya mengikuti arus, dan saat berhenti, kau berhenti.

A Ride to Home (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang