Chapter 16 "Permintaan"

4.1K 176 82
                                    

Bau rempah-rempah yang menyengat menusuk ke dalam hidungku. Uap-uap panas mengepul di sekelilingku seakan-akan aku berada di tengah-tengah kaldera. Ditambah suara hingar bingar pada murid dan penjual yang ingin membuat kepalaku pecah.

Tapi memang seperti inilah pemandangan yang biasa saat jam istirahat di kantin.

Aku duduk di bangku panjang yang terletak di sudut ruangan. Untungnya saja kantin di sekolahku sudah dilengkapi mesin pendingin ruangan, jadi para murid di sini bisa makan tanpa harus bergumul dengan hawa panas jika kantin semakin penuh.

Kulihat wajah Zidan yang tengah memandangiku dengan senyum licik di mukanya.

"Kau ini ... enak sekali ya bisa direbutin oleh cewek-cewek cantik!"

"Jangan menghinaku! Lagipula siapa yang mau, coba?"

Kubenamkan kepalaku ke arah permukaan meja kantin, mencoba menutup mata atas semua keributan yang terjadi hari ini.

Setelah tahu aku tak berpacaran dengan Bella, entah mengapa Shella menjadi sangat agresif untuk mendekatiku. Dan di saat itulah, pertengkarannya dengan Bella pun tak terhindarkan.

Aku tak mengerti jalan pikiran Bella. Jika dia membenciku, kenapa dia selalu berusaha untuk menjauhkanku dari Shella?

Padahal jika aku dekat dengan Shella, tak ada pengaruh apa pun untuknya, kan?

Itulah yang kupikirkan. Tapi seharian ini, Bella terus menghalangi Shella untuk mendekatiku. Ini bukan berarti aku ingin didekati oleh Shella. Hanya saja aku sungguh tak mengerti dengan maksud Bella sebenarnya.

Saat aku tengah dilanda kebingungan, kurasakan hawa keberadaan muncul di sebelahku.

Rambut oranye yang berkibar dengan indah dan panjang sepinggang seperti air terjun. Mata tegasnya menatapku dengan kuat.

Sembari duduk di sampingku, ia menaruh nampan dengan semangkuk soto ayam yang masih mengepulkan uap panas.

"Kalau kau tidak makan, lebih baik pergi dari sini! Buang-buang tempat aja! Kasian yang mau makan, tahu!?"

"Bella... tunggu aku, dong!"

Yang baru saja datang sembari berteriak kecil adalah Nia. Dia juga membawa nampan yang sama dengan Bella. Sudah hal yang wajar bagi mereka untuk makan bersama saat istirahat.

Tapi aku tak mengerti kenapa mereka duduk di dekat kami.

"Bella!? Nia!? Sedang apa kalian di sini...!?"

"Jelas makan, lah! Memangnya kau yang kemari hanya untuk tidur?"

"Tapi kenapa kalian duduk di sini?"

"Hampir semua meja penuh, makanya kami makan di sini? Kau keberatan?"

"T-Tidak, sih ...!"

"Kalau begitu tak masalah, kan!?"

"Maaf kalau kami mengganggu, Sena, Zidan!"

Dengan sopan, Nia membungkukan kepalanya ke arahku dan Zidan secara bergantian. Aku sungguh tak mengerti apa yang dia maksud dengan mengganggu kami.

Padahal kalau dilihat dari sudut pandang orang lain, justru kami berdua lah yang menjadi pengganggu karena tidur di tempat yang tak seharusnya.

Dengan mengacuhkanku, gadis oranye itu mulai mengaduk-aduk mangkuk sotonya dengan sendok dan garpu yang ia genggam. Uap panas semakin mengepul seakan-akan itu berasal dari cerobong asap kereta api uap.

"Ayo Zidan! Kita pergi!"

Aku mengisyaratkan dengan tangan pada Zidan untuk segera pergi dari sini. Karena kutahu kalau aku dan Bella berdekatan di sekolah, ujung-ujungnya pasti akan bertengkar lagi.

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang