Chapter 61 "Pria Misterius"

2.1K 125 75
                                    


Di antara suara cekikikan dan bisikan di udara, suara langkah kaki terdengar ringan di koridor lantai dasar. Seorang gadis berkuncir kuda tengah berjalan menapaki ubin-ubin persegi yang terbuat dari keramik. Kuncirnya berayun gemulai mengikuti gerakan tubuhnya. Kedua tangannya digunakan untuk membawa setumpuk buku tulis yang menggunung hingga hampir menutupi wajahnya. Walau terasa berat, ia tidak mengeluh. Tanggung jawabnya sebagai ketua kelaslah yang memberinya sedikit kekuatan.

Mendadak seorang cowok datang dari belakang, merebut tumpukan buku itu dari tangannya dan berdiri di sampingnya.

"Biar kubantu, Febri!" ucap cowok itu.

"Eh, Zidan? Tidak perlu! Biar aku saja yang—"

"Jangan melarang orang yang ingin membantu. Tidak baik tahu!" balas Zidan sembari tertawa renyah.

"Sudahlah kalau itu maumu!"

Febri meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Zidan mengikuti dan menyelaraskan langkah kakinya dengan kecepatan sang gadis. Mulut pria itu hendak terbuka, namun tertutup lagi setelah beberapa saat. Tampaknya ada yang ingin ia katakan untuk memecah keheningan di antara mereka. Karena hingar-bingar suasana sekolah ketika jam istirahat tidak menghiburnya sama sekali.

Zidan terus menahan hasratnya untuk memulai percakapan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Walau sempat ada pikiran yang melintas, sedetik kemudian langsung lenyap tanpa jejak. Memang, cukup sulit bagi seorang remaja laki-laki ketika berhadapan dengan gadis yang disukainya.

Sudah lama ia menyimpan perasaan itu, mungkin sejak pertama kali bertemu saat perkenalan kelas. Ia tidak pandai mengungkapkan perasaanya, alhasil ia terus memendam rasa itu hingga kini. Tapi sekarang ia berkeyakinan bahwa seorang pria memang harus melakukan tindakan terlebih dahulu untuk mencapai apa yang diimpikan.

"Feb, ngomong-ngomong kenapa kau selalu mengikat rambutmu?" tanya Zidan sembari melirik ke arah surai Febri yang dikuncir panjang.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?"

"Potongan rambutmu membuatmu terlihat seperti anak kecil, dan lagi gayanya terlalu simpel. Kurasa itu tidak cocok dengan sifatmu yang tegas. Mungkin lebih baik kau membiarkannya terurai."

"Benarkah? Aku tidak begitu memperhatikan penampilanku," sahut Febri. Kemudian gadis itu mencoba membenarkan kuncirnya, lalu memilin-milin poni imutnya. "Tapi aku lebih suka seperti ini."

"Seorang gadis yang tidak memperhatikan penampilannya tidak akan pernah dapat kekasih loh."

Zidan tersenyum mengejek. Ia berniat menggoda gadis itu demi menghidupkan suasana atmosfer di sekeliling mereka. Febri yang tidak terima tentu saja menyikut perut Zidan hingga pria itu meringis kesakitan. Perasaan kesal tentu saja ada. Tapi gadis itu berusaha menahannya dengan memperlihatkan seulas senyum yang terpaksa.

"Seenaknya saja memutuskan. Bagaimana kalau nanti aku punya?"

Zidan bergeming untuk sepersekian detik. Jika ditanya bagaimana, tentu saja ia tidak ingin Febri memiliki kekasih lain. Tapi bila nanti ia mengutarakannya, maka akan secara tidak langsung ia menyatakan perasaan yang ia miliki pada gadis itu. Padahal saat ini hatinya belum siap. Maka dari itu Zidan mengalihkan perasaan sesungguhnya dengan membalas mengejek.

"Oh ya? Memangnya ada yang mau denganmu?" ejek Zidan dengan tertawa renyah. "Ketua kelas kuno yang ngga tahu mode."

"Apa!?"

Febri melotot ke arahnya, Zidan tetap tertawa walaupun gadis itu berulang kali meninju-ninju bahunya. Kendati demikian, suasana seperti inilah yang diinginkan Zidan. Bersenda gurau dengan orang yang disukai adalah kenangan yang tak tergantikan. Meski sebelumnya ia mengatakan mustahil ada lelaki yang tertarik pada Febri. Kenyataanya, justru dialah yang jatuh hati pada gadis itu meski penampilannya biasa saja.

Tidak lama kemudian, kedua orang itu sudah tiba di lorong kelas mereka. Langkah keduanya sempat terhenti ketika melihat Sena berada di depan kelas berbincang bersama seorang pria yang tidak dikenal. Zidan tidak tahu ia dari kelas berapa. Cowok itu jangkung, lebih tinggi beberapa sentimeter dari Sena. Rambutnya sedikit gondrong dari kebanyakan murid pria. Seakan ia telah lolos beberapa kali dari razia rambut. Tapi yang paling menonjol dari dirinya adalah wajahnya yang rupawan. Begitu mempesona, hingga cewek di sekelilingnya menatap dirinya tanpa berkedip.

Bahkan Febri yang berada agak jauh dari pria itu pun terdiam dan menatapnya dengan mata yang berbinar. Rona merah mulai terlukis di kedua sisi pipinya. Mulutnya terbuka. Seakan gadis itu larut dalam pesona yang diciptakan pria itu. Zidan merasa gusar. Ia pun sengaja berdehem guna membuyarkan lamunan Febri yang memabukan.

"Eh, apa?"

"Kau terlihat seperti orang aneh."

"Enak saja," balas Febri. Kemudian ia menunjuk pada cowok itu. "Dia siapa ya? Temannya Sena?"

"Temannya Sena adalah temanku juga. Tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Yang berarti Sena juga tidak mengenalnya."

"Oh begitu."

"Lagipula apa seorang teman akan mengintimidasi temannya ketika berbicara?" batin Zidan dengan kesal.

Saat itu wajah Sena terlihat pucat. Ia menunduk ke atas lantai dan tidak berani menatap orang yang mengajaknya berbicara. Sementara cowok tampan itu berbincang sembari berkali-kali menampakan senyum yang mengesalkan. Melihat itu, Zidan memberanikan diri melangkah mendekati mereka.

Saat menyadari keberadaanya, pria itu menepuk pundak Sena dan berlalu ke ujung lorong.

"Sena, ada apa?"

***

Aku tengah dilanda kecemasan serta ketakutan ketika Zidan datang dan menanyakan apa yang terjadi. Tapi aku tidak mau hal ini menjadi masalah dan membuatnya khawatir.

"Tidak. Tidak ada apa-apa, kok," jawabku seolah tidak terjadi apa-apa.

"Sungguh?" balas Zidan tidak percaya.

"Tentu saja. Kenapa tidak kau taruh saja buku-buku itu dan pergi bersamaku ke kantin?"

Setelah mengucapkan itu aku segera melangkah pelan menuju kantin. Sementara Zidan pergi ke dalam kelas dan menyusulku dengan cepat. Walau ia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak menjawab. Karena kupikir koridor ini bukanlah tempat yang pas untuk menjelaskan semuanya.

Aku berpikiran untuk memberitahunya apa yang cowok itu katakan padaku sebelumnya. Karena aku yakin ia memang pantas mengetahuinya sejak ia tahu hubunganku yang sesungguhnya dengan Bella. Lagipula, ia teman terbaik yang kumiliki. Ia telah mengetahui rahasiaku, dan ia masih menjaganya hingga kini. Jadi, aku percaya padanya.

Tapi, tunggu sebentar ...!

Kalau tidak salah ingat, sepertinya aku pernah mengalami. Karena aku merasakan hal yang serupa dengan yang lalu. Aku terus menyelami pikiranku hingga terlintas sebersit kenangan dalam kepalaku. Ya, kini aku ingat dengan jelas. Ketika aku mengakui rahasia hubunganku pada Zidan, ia sempat meneriakannya keras-keras. Aku curiga ia akan melakukan hal yang sama kali ini.

Hal itu terus terpikir olehku hingga sampai ke kantin. Karena waktu istirahat yang hampir usai, suasana di kantin sedikit lenggang. Jadi kami bisa duduk di mana pun yang kami inginkan. Aku memilih bangku panjang yang terletak di samping dinding kantin. Selain berjarak agak jauh dari orang lain yang makan, tempat ini juga berada tepat di bawah kipas yang tergantung di langit-langit. Jadi aku tidak akan kepanasan selagi membicarakan hal yang penting.

Kami berdua tidak memesan makanan apa pun dan duduk saling berhadapan.

"Apa yang ingin kau katakan? Apa soal yang tadi?" tanya Zidan.

Ketika ia menyebutkan itu, artinya aku tidak perlu repot-repot lagi menjelaskan dari awal padanya. Aku mengambil napas dalam-dalam dan mempersiapkan diriku.

"Kau tahu cowok yang sebelumnya bersamaku, kan?"

Zidan mengangguk pelan. "Ya, memangnya kenapa?"

"Dia ... tahu rahasia hubunganku dengan Bella."

===========================

A/N:

Pelajaran yang bisa kita ambil dari chapter ini adalah ... sorry lg g enak badan, jadi ga bisa buat pesan2. Kalo ada yang mau nyumbang, komentar aja di bawah. Yang bagus n sesuai bakal gue ambil. :v :v :v

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang