Chapter 52 "Perasaan Dua Insan"

2.1K 190 139
                                    


Cahaya bulan menyinari rambut senjanya. Membuat pantulan warna yang kental dengan rasa dua sisi yang berbeda. Wajah kami berdua sangat dekat. Ia dapat kembali menciumku jika aku mendekapnya ke arahku.

Aku memandang dalam-dalam pancaran matanya yang berbinar. Napasku tertahan seolah leherku dicengkeram dengan kuat.

"A-Apa maksudmu?" balasku dengan wajah kaku.

"I-Itu ... mmm ...," jawab Bella terbata-bata.

Wajahnya memerah. Pandangannya menuju ke ujung kakinya. Lalu dialihkan ke samping.

Tak jarang juga ia menmberanikan diri untuk memandangku namun sesaat kemudian matanya kembali ia alihkan dengan malu-malu.

"A-Aku tidak perlu mengulanginya. Harusnya kau lebih peka, dong!" protes Bella. Kedua pipinya menggembung di wajahnya yang kecut.

Aku menggaruk-garukkan belakang kepala walaupun tidak merasa gatal sama sekali. Mungkin ini adalah caraku untuk meredakan kecanggungan yang ada pada diriku.

Dengan keras kuberusaha untuk tetap tenang dan memikirkan tindakanku yang selanjutnya. Walau dalam hati aku sangat ingin berteriak karena terkejut.

Namun seberapa pintar aku berpura-pura, aku tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa aku ... saat ini ... berdebar-debar sampai tidak bisa memikirkan hal lain selain ciuman itu.

Kupandangi bibir merahnya yang dipoles cahaya lampu taman yang temaram. Aku ingin menyentuhnya, namun aku mengurungkan niatku.

"Maksudmu ... mencintaiku sebagai teman?"

Sebuah pukulan yang pelan namun telak mendarat di perutku hingga tubuhku terguncang.

"Kau bodoh! Apa seorang teman akan me-me ... m-m-me-menciummu seperti itu?"

Wajahnya merona hingga ke telinganya. Bahkan gelapnya malam pun tidak mampu untuk menyembunyikan wajahnya yang merona. Mungkin aku dapat melihatnya karena ada lampu taman meski tidak terlalu terang. Bisa juga sinar bulan yang tengah tersenyum memandang kami.

Atau mungkin ... mataku yang saat ini tidak bisa berpaling darinya walau hanya sesaat.

Aku dapat melihat rona merah di pipinya. Bibirnya yang bergetar karena ragu. Bola mata jingganya yang memancarkan keteguhan hati. Namun ia masih belum dapat mengendalikannya dengan baik.

"K-Kalau begitu, kau menyukaiku sebagai ...."

Aku membuat jeda waktu yang cukup lama. Keraguan muncul dibenakku untuk melanjutkan ucapanku atau tidak.

Namun Bella melanjutkan kalimatku dengan sebuah anggukan kecil. "Hmm ... iya."

Selama beberapa saat keheningan menyelimuti kami tanpa suara. Aku tidak tahu kata apa lagi yang harus kuucapkan. Karena itu aku menunggu Bella untuk memulai kembali mencairkan suasana yang membeku ini.

Tapi tidak datang juga. Suaranya yang kurindukan tidak tertangkap oleh telingaku. Kami saling memalingkan wajah. Mencoba untuk melirik satu sama lain. Dan di saat mata kami bertemu, kami kembali memalingkan pandangan.

"A-Aku tidak pernah tahu kalau kau memiliki perasaan padaku," ujarku dengan gugup.

"Tentu saja. Kau kan orangnya sangat tidak peka!" sahut Bella dengan cemberut.

Aku menunduk malu. Kuakui cemoohannya itu mungkin benar. Aku kurang pandai membaca situasi. Mungkinkah aku akan dapat mengetahui perasaanya lebih awal jika aku lebih peduli pada sekelilingku?

"Kau itu orang yang paling ngga peka yang pernah kutemui selama ini. Kamu ngga pernah menyadariku yang salah tingkah saat berada dekat denganmu. Dan yang paling parah, kamu bahkan ngga menganggap serius pernyataanku yang sebelumnya."

"Maksudmu saat kita tersesat di hutan?!"

Bella mengangguk. Senyum tipis di wajah manisnya membuat jantungku berhenti berdetak sesaat.

"Jadi kau –"

"Aku berbohong saat bilang aku tidak mengingat apa pun. Aku sengaja mengatakannya agar kau lebih tertarik sedikit kepadaku. Tapi ternyata tidak," ujar Bella dengan suara tawa kecil. "Sumpah! Kamu itu bego banget!"

"M-Maaf deh kalau aku bego!" balasku dengan nada pelan dan senyum yang kaku.

Kalau kuingat kembali aku sangat jarang meminta maaf saat orang lain mencelaku. Apalagi jika itu Bella.Biasanya aku akan langsung membalas cemoohannya dengan kata-kata yang setimpal.

Tapi entah mengapa untuk kali ini aku tidak berdaya di depannya. Mungkinkah karena atmosfer yang terbentuk di sekeliling kami?

"Kau itu bodoh, ngga peka, sangat keras kepala. Kau juga orangnya malas, tidak pernah mencuci piring sendiri, berantakan, dan egois." Setetes air mata mulai terbentuk di ujung matanya. "Tapi aneh ... kenapa ya aku menyukai orang sepertimu?"

Tanpa sadar tanganku mengelap pipinya yang basah. Aku tidak tahan melihat seorang gadis menangis di depanku, apalagi karena aku.

Di saat aku hendak melepaskan tangan dari pipinya, tangan ramping Bella menahannya. Menempelkannya lebih lama pada wajahnya. Secercah kehangatan mulai terbentuk di tengah telapak tanganku. Relung hatiku dipenuhi oleh sesuatu yang hangat yang mencair.

Sesaat kemudian sebelah tangannya ikut menyambut telapakku di pipinya, membuatku tidak dapat melepasnya.

"Lalu, apa yang membuatmu suka padaku?"

"Entahlah," jawab Bella sambil memejamkan mata dan menggeleng. Lalu kembali menatapku dengan lekat. "Namun aku akhirnya sadar, semua waktu yang kuhabiskan bersamamu sudah cukup untuk membuatku suka padamu."

Aku kembali terdiam membisu. Tubuhku tak bergerak sebagaimana mestinya. Gadis berambut oranye itu menangkubkan telapaknya di atas dadaku. Saat ini ia pasti menyadari jantungku yang berdegup kencang. Meski sulit untuk menatapnya secara langsung, aku dapat melihat matanya yang berbinar. Bibirnya yang sedikit terbuka menghembuskan udara dinginnya malam.

"Lalu bagaimana denganmu? Seperti apakah perasaanmu padaku?"


My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang