Chapter 8 "Naungan di Bawah Hujan"

3.9K 224 29
                                    

Aku memegangi kepalaku sendiri. Heran. Kenapa bisa dua kejadian yang hampir sama terjadi dalam waktu satu hari? Entah karena kebetulan atau takdir sepertinya menginginkan rahasia kami bocor.

Mengelabui Nia yang polos memang gampang, tapi menipu sang ketua kelas yang memiliki pemikiran tajam sepertinya sulit. Aku harus benar-benar memikirkan alasan yang logis dan masuk akal agar bisa diterima olehnya.

"S-Sebenarnya aku kebetulan bertemu dengan Bella di sini."

Siaaaal.....! Kenapa malah alasan gak berbobot yang keluar dari mulutku? Kalau begini sih dia takkan percaya. Febri memicingkan matanya menjadi semakin tajam. Entah kenapa aku merasakan bulu kudukku berdiri.

"Benarkah? Tapi kelihatanya kalian memang sengaja kemari bersama."

"I-Itu karena... orangtuaku ingin mengajak ayahnya untuk makan di rumahku. Jadi kami ditugaskan untuk berbelanja. Haha..."

"Ooh... orang tua kalian saling kenal rupanya."

"Begitulah..."

Febri mengendurkan otot-otot wajahnya, kini wajahnya yang cantik kembali dihiasi senyum tipis. Sesaat kemudian ia tertawa kecil sembari memandangiku dengan Bella.

"Tapi ini benar-benar lucu melihat kalian bersama. Padahal kalau di kelas kalian selalu bertengkar. Apa jangan-jangan kalian mempunyai hubungan spesial di luar? Sepasang kekasih misalnya."

"Nggak lah...!"

Tanpa sedetik pun jeda setelah ucapan Febri, aku dan Bella sama-sama melontarkan protes karena kami bukan sepasang kekasih. Memang kami sudah menikah, tapi kalau aku mengatakan itu jadinya pasti runyam.

"Mana mau aku berpacaran dengan pria menjijikan seperti ini!"

Ucap Bella dengan nada tinggi, bahkan karena suaranya beberapa orang jadi mengalihkan perhatian mereka pada kami.

Bella lalu memandangiku dengan tatapan merendahkan, sementara aku hanya bisa membuat raut kekesalan.

"Itu benar! Berpacaran dengan gadis sepertinya cuma akan membuatku sengsara."

Mata Bella melebar. Lalu menyatukan kedua alisnya sementara ia mengepalkan tanganya. Dan dalam sedetik kemudian tinju itu sudah mendarat pada perutku.

"Ugh...!"

Kalau sebelumnya mungkin aku sudah berlutut meringis kesakitan. Tapi karena aku sudah terbiasa dengan rasa pukulanya, aku pun masih bisa mempertahankan keseimbanganku.

Bella lalu berbalik dan pergi meninggalkanku seraya membawa keranjang belanja yang penuh dengan bahan makanan. Aku ingin segera pergi mengejarnya, tapi ada satu hal yang harus kulakukan saat ini.

"Maaf, Febri! Bisakah kau merahasiakan ini? Anggap kita tak pernah bertemu di sini."

Febri melempar senyum kepadaku.

"Tak masalah."

Tanpa mengulur waktu lagi segera kulanjutkan langkah kakiku mengejar Bella yang menuju ke arah kasir.

"Bella, tunggu!"

"Mati saja kau, bodoh!!"

*****

Pukul 15.00

Aku sedang menaiki bus kota dalam perjalanan pulang selepas berbelanja di mall. Langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi hitam dan menurunkan uap air yang sudah menjadi titik-titik air. Kelihatanya hujan ini akan berlangsung lama jika dilihat dari intensitasnya yang nyicil (1).

Tapi yang menjadi perhatianku adalah gadis berambut oranye yang duduk di sebelahku. Sejak awal naik bus dia terus saja memandang ke arah luar. Dia sama sekali tak mau menatapku.

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang