Chapter 46 "Hati Malaikat"

2.1K 155 83
                                    

Beberapa hari setelah liburan berakhir, aku kembali disibukan dengan rutinitas sehari –hariku, terutama dengan kehidupan sekolah. Padahal aku masih ingat dengan aroma dan warna di mana hari-hariku bebas dari tumpukan buku dan tugas.

Andai saja liburan semester diperpanjang sampai satu bulang seperti di universitas, pasti seluruh murid di negeri ini akan menyetujuinya.

Aku menaruh kepalaku di atas meja dengan malas, meskipun pak guru sedang memberi materi di depan kelas. Di siang hari ini, angin sejuk yang menyambut dari luar jendela seakan menjadi pemanduku untuk masuk ke dunia lain yang penuh misteri, di mana hanya ada tempat dan benda yang bisa didapatkan dari khayalan tingkat tinggi.

Namun sesaat kemudian, aku terbangun dan langsung memegangi dahiku. Entah mengapa dahiku terasa sangat sakit seperti terkena sesuatu. Di saat aku menemukan sepotong kapur di atas mejaku, aku tersadar jika pandangan seluruh murid di kelas tertuju padaku.

Tidak terkecuali pak guru yang menatap tajam dan penuh amarah bagai seorang ayah yang emosi saat mengetahui anak gadisnya telah dinodai.

"Sena ...!! Beraninya kamu tidur di kelas!" teriak guru itu dengan suara yang sanggup untuk menggetarkan udara di ruangan ini.

"S-Saya nggak tidur kok, pak!" jawabku dengan gelagapan.

Aku langsung memposisikan tubuhku dalam keadaan tegap seperti seorang tentara yang tengah membawa beban 15 kg di punggungnya.

"Suara dengkuranmu tadi terdengar keras, tahu!"

Eh, benarkah!?"

Kuakui aku memang tertidur tadi, tapi aku tidak merasa sangat kelelahan sampai harus mendengkur saat tertidur. Pasti pak guru ini hanya mengada-ngada saja. Dia melakukan ini untuk menyudutkanku agar aku mengakui ksalahanku di depan semua orang.

Ya, pasti begitu!

Aku menoleh ke samping. Di saat ini Zidan pasti akan menolongku keluar dari situasi seperti ini.

Namun saat mata kami bertatapan, tiba-tiba saja ia tertawa kecil sembari menutup mulutnya dengan tangan. Sedikit demi sedikit, para murid pun langsung ikut tertawa hingga menggema ke seluruh ruangan. Suasana kelas yang tadinya sepi dan hening, mendadak berubah menjadi seperti studio televisi saat menyiarkan acara humor.

"Yah, dia ngiler!" ucap Zidan sembari tertawa.

Tepat setelah ia mengatakan itu, aku langsung melihat diriku sendiri. Dan ternyata benar ucapannya, air liur menetes dari mulutku hingga ke atas meja. Sambil menahan malu, aku segera melap air liur dengan tanganku dan kembali menatap pak guru seolah tidak terjadi apa-apa.

Dia balas menatapku dengan tajam, kalau saja aku yang menodai anak gadisnya, tangan besar miliknya pasti sudah melayang ke wajahku sekarang.

"Saya beneran gak tidur kok, pak!"

"Kamu ini ...!" ujarnya dengan marah.

Wajahnya menjadi merah sekarang. Bukan karena bersemu, melainkan karena menahan emosi yang sudah meluap dari ubun-ubunnya. Aku tidak bisa membayangkan jika pak guru bersemu karena diriku. Ia bahkan mengepalkan kedua tangannya dan bersiap-siap mendekat ke arahku.

"Pak! Bisa kita teruskan pelajarannya?"

Pandangan semua orang beralih pada gadis yang memecah suasana ini. Ia mengangkat tangannya yang kecil, yang bahkan dapat masuk seluruhnya ke dalam genggamanku.

"Abaikan saja dia. Bisa kita lanjutkan saja pelajarannya?" ucap Bella sembari masih menjadi pusat perhatian di kelas.

Pak guru yang awalnya kesal dan merasa emosi, perlahan mulai menurunkan ketegangan dan membuka mulutnya.

"Baiklah, kita abaikan saja murid kurang ajar yang satu ini. Ayo kita kembali ke materinya," kata pak guru.

Dia kembali berjalan ke depan kelas dan mulai menerangkan materi yang sebelumnya sempat terhenti.

Sebenarnya, sakit hati juga dibilang begitu oleh guru sendiri. Ini semua salah Bella. Kalau saja dia tidak berkata macam-macam, pasti tidak akan seperti ini jadinya.

Tapi, tunggu dulu sebentar....

Memang sih dia yang menyebabkanku disindir pak guru. Tetapi karena itulah aku jadi tidak dimarahi lagi. Apa mungkin ... dia memang sengaja melakukannya agar aku dapat keluar dari situasi seperti itu?

Kalau itu benar, maka ....

***

Bel pulang sekolah sudah berdering sejak setengah jam yang lalu, namun aku masih berdiri di gerbang sekolah sembari menatap langit. Saat ini situasi sekolah sudah sepi, karena hampir semua murid sudah pergi meninggalkan tempat ini. Sementara yang masih memiliki urusan dengan sekolah, tak punya pilihan lain selain tinggal di sini.

Termasuk gadis mungil berambut oranye yang tengah berjalan dari gedung sekolah.

"Lama! Mau sampai kapan kau membuatku menunggu?"

"K-Kau ...!? Kenapa masih di sini?"

Mata gadis itu melebar. Mulutnya terbuka. Langkah kaki kecilnya pun terhenti. Sepertinya ia tidak percaya kalau aku berdiri di sini hanya untuk menunggunya.

"Sudah jelas, kan!? Aku menunggumu!"

"Kenapa? Kalau kau bertingkah seperti ini nanti—"

"Terima kasih."

"Eh ...!?"

Selain ketidakpercayaan, sekarang wajahnya bertambah ekspresi kebingungan. Sudah jelas ia akan bereaksi seperti itu jika aku tidak dengan jelas mengatakannya.

"Saat aku dimarahi di kelas tadi, terima kasih karena sudah menolongku."

"Aku tidak bermaksud seperti itu, kok. Aku cuma ingin pak guru tidak membuang-buang waktu mengajar hanya untuk orang bodoh sepertimu. Kebetulan saja itu termasuk menolongmu," ujarnya dengan nada tsundere yang khas.

"Teganya kau berkata seperti itu pada orang yang ingin berterima kasih!"

Gadis itu lalu menghela napas. Lalu berjalan melaluiku tanpa menoleh ke arahku. Entah mengapa ia kini seperti putri es yang dingin dan tidak mempedulikan rasa terima kasihku.

Aku sudah terbiasa dengan sifatnya yang seperti ini sejak dulu. Akan tetapi karena akhir-akhir ini ia jarang bersikap kasar padaku seperti ini, entah mengapa aku merasa sedikit sedih.

"Kenapa kau masih di situ? Ayo kita pulang ..." ujarnya sembari menghentikan langkah dan melempar senyum padaku, " ... ke rumah kita."

Di saat itu juga aku merasa seperti orang bodoh. Tidak peduli seberapa kasarnya ia padaku, Bella ... selalu memiliki niat yang baik di dalam hatinya.

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang