Chapter 42 "Tak Terungkapkan"

2.2K 162 74
                                    

Semuanya terjadi begitu cepat. Tidak butuh banyak waktu hingga aku menemukan jalan raya dan kembali ke tempat teman-teman yang mengkhawatirkan kami.

Mereka bahkan sampai menelepon polisi dan tim SAR untuk mencari kami. Warga sekitar pun turut membantu. Wajar jika di pintu masuk hutan gunung terjadi kehebohan.

Mereka sudah merawat semua luka yang ada di sekujur tubuhku. Begitu juga dengan Bella, meskipun saat ini dia belum sadar tapi menurut dokter kesehatannya akan segera membaik.

Mendengarnya akan baik-baik saja sudah membuatku bisa bernapas lega. Sekarang aku sudah tidak perlu mengkhawatirkan tentangnya lagi.

Tugasku saat ini adalah menyambutnya dengan senyum bahagia saat ia membuka matanya nanti.

Aku menatap ke luar jendela ruangan di rumah sakit tempat Bella dirawat. Matahari pagi bersinar dengan terang seakan memberi Bella yang tengah terbaring di atas kasur segenap semangat dan harapan untuk tetap kuat.

Kutatap gadis mungil ini dari kursi yang kutempatkan di sebelah kasur, kemudian memegang tangannya.

Aku masih tidak mengerti maksud dari ucapannya sebelumnya.

"Aku jatuh cinta padamu, Sena ...."

Berkali-kali aku memutar kembali memoriku, aku selalu menunduk malu saat mengingatnya.

Apa dia benar-benar menyukaiku? Tapi itu tidak mungkin kan!? Soalnya dia selalu kasar dan marah padaku.

Akan tetapi jika kemungkinan itu benar, maka semua tingkahnya padaku akan terhubung. Saat dia selalu perhatian dan peduli padaku, juga semua perkataanya. Itu semua ia lakukan karena menyukaiku.

Aku kembali menunduk malu. Kali ini aku menggaruk-garukan belakang kepalaku seakan berusaha menghilangkan rasa maluku.

"Sepertinya itu tidak mungkin, ya!?" ujarku dengan menggelengkan kepala.

Mungkin saja dia hanya bercanda untuk menggodaku saja. Tapi ... di situasi seperti saat itu kurasa dia tidak akan mengucapkan kata terakhirnya hanya untuk lelucon.

Jadi ... itu artinya dia ....

"Aarrrrrgggghhh ...! Kenapa aku ini!?" aku berteriak sembari memegang kepalaku.

Ini semua benar-benar membuatku pusing. Namun mustahil menghilangkan pikiran ini dari dalam kepalaku. Meski sudah kubuang jauh-jauh hal ini, tetap saja kembali lagi padaku seperti sebuah bumerang.

"Sena ...!? Apa yang sedang kau lakukan?"

"Eh, tidak ada. Maaf aku sedikit jadi gila hari ini kar—"

Aku tertegun. Secara refleks bola mataku mengikuti arah sumber suara yang datang dari hadapanku.

Aku sangat yakin aku melihat seorang dewi kali ini. Untaian rambutnya yang indah bagai karunia dari Tuhan.

Wajahnya yang terlihat lugu dan tidak berdaya membuatnya tampak bercahaya terang dari pada sinar mentari. Pakaian putih yang membalutnya seolah mempertegas kesucian dan kemurnian gadis oranye itu.

Meski aku sudah bersamanya selama ini ... aku percaya ini adalah pertama kalinya aku melihat Bella secantik ini.

Jantungku berdegup dengan cepat. Hanya dengan memandangnya saja, hatiku sudah tidak karuan.

"Ada apa?" tanya Bella sembari menatapku dengan pandangan lembut. Dia membangkitkan tubuh bagian atasnya dari tempat tidur.

"Tidak ada apa-apa. Lupakan!"

Aku memalingkan wajahku karena aku tidak mau dia melihatku saat sedang kacau begini.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku dengan masih memalingkan muka.

"Cukup baik. Semua ini berkatmu. Terima kasih!"

Oh, tidak! Kata-kata itu membuatku luluh. Biar kutebak, saat ini ia pasti sedang tersenyum manis dan memancarkan cahaya surga lagi.

Sebenarnya aku ingin sekali melihatnya saat tersenyum indah. Tapi jika aku melakukannya, aku pasti akan terpana dengan parasnya.

"Oh ... begitu!? Baguslah!"

"Kenapa kau terus-terusan berpaling dariku?" tanya Bella.

Dia pasti sudah menyadari keanehanku saat ini. Meskipun ia meminta, aku tetap tidak akan memandangnya untuk sekarang.

"Tidak, kok! Aku sedang melihat vas bunga itu!" ujarku seraya menunjuk pada jambangan yang terletak di ujung ruangan.

Aku menjadikannya alasan karena benda itu berada di pandanganku saat ini.

"Kau lihat!? Bukankah itu indah sekali? Kita harus memi—"

Belum sempat aku selesai berbicara Bella mengarahkan kedua tangannya pada pipiku lalu menarik wajahku ke arahnya.

Aku langsung terpana. Kini aku bisa melihat wajah cantiknya dari dekat. Matanya, hidungnya, serta bibirnya, menjadi sebuah lukisan yang tidak akan terlupakan sepanjang hidupku.

"Aku akhirnya bisa melihat wajahmu," ujar Bella dengan tersenyum manis.

Ini benar-benar percuma. Kini aku sudah sepenuhnya luluh dan tunduk pada sihirnya. Aku sudah menjadi budak yang akan melakukan apa pun demi mendapatkan kecantikannya.

"Bella ... ada yang ingin kukatakan padamu."

"Apa itu?" Bella balas bertanya dengan masih menahan wajahku dalam dekapan tangannya.

"Apa maksud dari perkataanmu sebelumnya?"

"Sebenarnya aku ...."

vM/

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang