Chapter 64 "Lebih Baik"

438 22 18
                                    

Kelopak mataku entah mengapa terasa begitu gatal, alam bawah sadarku hancur begitu rasa gatal itu semakin menjadi. Jariku menguceknya beberapa kali untuk membuang kotoran yang mungkin jatuh ke mataku ketika tertidur. Aku bangun dan duduk di atas tempat tidur, kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Kesegaran air di pagi buta langsung menyingkirkan rasa gatal itu.

Aku kembali berselimut di kasur, hendak memejamkan mata namun tak bisa. Basuhan air dingin dari keran sepertinya telah menghilangkan rasa kantukku juga. Saat tubuhku mulai terbuai kembali dengan lembutnya permukaan kasur, tiba-tiba suara azan subuh berkumandang. Saling sahut-menyahut dan menggema di langit. Membuatku merasa menjadi seorang pendosa berat bila sengaja kembali tidur. Padahal biasanya aku mendirikan Shalat subuh sebangunnya aku saja. Namun entah mengapa di pagi ini keinginanku untuk Shalat berjamaah di masjid kuat sekali.

Ketika bangun pun terasa ringan sekali, tak ada serat-serat rasa malas yang menjerat tubuhku untuk tetap di atas tempat tidur. Kemudian aku segera mengambil air wudu, mengenakan sarung dan baju koko putih polos , lalu bersiap untuk melangkahkan kaki ke masjid. Entah mengapa perasaan di hati ini begitu tenang saat bersujud di rumah Allah, sangat kontras dengan rumah sendiri. Mungkin inilah yang mereka sebut kedamaian dalam beribadah.

Setelah Shalat Subuh berjamaah di masjid dekat rumah, aku pulang. Ini sudah pukul lima tepat. Bella baru saja bangun dan mencuci muka, lalu menatapku dengan aneh.

"Ada apa?" tanyaku kebingungan.

"Tumben, bangun pagi. Shalat subuh pula di masjid."

"Memangnya ngga boleh, ya?"

Bella tersenyum tipis. "Ngga apa-apa, kok. Pantas aja kemarin aku merasa ada yang aneh padamu, rupanya kau sedikit berubah, ya?"

"Berubah gimana? Jadi Power Ranger?"

Gadis itu tertawa kecil. "Ya ngga lah. Pokoknya ya berubah sedikit lebih baik. Semoga perubahan dirimu ini berlangsung seterusnya."

"Ya sudahlah kalau begitu. Kau mandi saja dulu, lalu siap-siap. Biar aku yang masakkan sesuatu. Telur dadar dan sosis goreng ngga masalah?"

"Yang penting bisa makan." Bella baru saja akan kembali ke kamar, namun langkahnya terhenti dan melemparkan pandangannya kepadaku. "Oh iya, Sena! Maaf ya kemarin aku ketiduran. Padahal kamu mau ngomong sesuatu, jadi ngga jadi."

"Aku juga tahu kamu udah ngantuk, jadi ngga masalah. Lagipula, hal itu bisa kita bicarakan nanti malam, kok. Kita berdua juga ngga ada jadwal kerja hari ini, kan?"

"Iya sih. Memangnya apa sih yang ingin dibicarakan? Keliatannya kok serius banget?" balas Bella.

"Tunggu nanti malam," jawabku seraya menyentil dahinya.

"Duh, apaan sih? Gak jelas banget!"

Mengabaikan gadis mungil itu yang menggerutu, aku berlalu ke arah dapur. Sebelum memulai membuat sarapan, aku terlebih dahulu mencuci tumpukan piring kotor di wastafel. Kalau sudah pulang kerja malam, rasanya malas sekali jika harus berurusan dengan pekerjaan rumah. Di dalam hati inginnya selepas sampai ke rumah, yaitu membersihkan diri dan langsung istirahat. Sebab itulah kebiasaan setiap pagi di rumah ini adalah mencuci piring dan bersih-bersih.

Rumah orang tuaku ini memiliki luas mungkin sebesar lapangan bola jika dihitung dengan halaman depan dan garasi yang super luas. Tentu saja untuk membersihkan rumah sebesar ini tidak cukup hanya kami berdua. Orang tuaku menyewa beberapa asisten rumah tangga dan tukang kebun untuk mengurusi rumah ini. Mereka memang tidak tinggal di sini, namun datang kemari setiap harinya antara jam sembilan hingga siang. Merekalah yang bertanggung jawab atas kebersihan rumah. Karena itulah rumah ini selalu bersih dan mengilap setiap harinya. Sementara kami berdua hanya bersih-bersih rumah seadanya, hanya yang terlihat kotor saja yang kami bersihkan.

My Wife is My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang