Bagian 20

25.6K 1.1K 12
                                    

Maya masih mengemudikan mobilnya meski dia belum punya tujuan jelas akan ke mana. Perasaannya sangat kalut. Hampir dua jam dia hanya mengelilingi Jakarta tanpa tahu akan ke mana. Tak sengaja hari ini, Maya mendengar sesuatu yang sangat-sangat-sangat tidak ingin dia dengar di rumah sakit. Suaminya, laki-laki yang saat ini sangat dia cintai. Laki-laki yang masuk dalam kehidupannya tanpa pernah bisa dia bayangkan sebelumnya. Laki-laki pertama yang membuatnya mengerti apa itu sebenarnya jatuh cinta. Laki-laki yang sampai detik ini paling ingin dia percayai melebihi sosok mana pun. Tenyata... selama ini menyimpan sebuah rencana yang tak pernah dia bayangkan. Sebuah balas dendam.

Ponselnya berdering lagi. Maya meminggirkan mobilnya di area parkir sebuah supermarket. Lalu, dia mengangkat telepon itu.

"Halo, Satya. Maaf aku lagi mengemudi jadi tadi tidak bisa angkat telepon. Ada apa ya?"

"Kenapa cara bicaramu seperti itu? Seperti bicara ke atasan di kantor saja. Haha."

"Oh ya? Kedengaran begitu ya? Haha...."

"Syukurlah. Aku khawatir tadi karena kamu nggak mengangkat teleponku. Syukurlah kamu nggak apa-apa. Oh ya, sore ini aku akan ke Bogor. Mungkin menginap semalam. Lusa launching restorannya, jadi ada beberapa persiapan. Kamu harus datang lusa, mendampingiku membuka cabang restoran baru ini."

"Ah? Harus datang ya?"

"Ya harus dong!"

"Gimana kalau nggak datang. Rasanya aku kurang enak badan."

"Kamu sakit?"

"Nggak, cuma pengin istirahat. Rasanya kelelahan karena menemani Bella di rumah sakit, semalam juga aku kurang tidur."

"Hm. Baiklah. Pasti lusa sudah sehat kok. Nanti kubuatkan jus tomat, tomat impor dari Australia. Bagus untuk daya tahan tubuh."

Maya menghela napas berat sambil menjauhkan ponselnya sejenak. "Omong-omong.... Soal drama Spanyol yang kita tonton kemarin malam."

"Drama Spanyol?"

"Ya, yang di TV."

"Oh ya, kenapa?"

"Seandainya... kamu ada di posisi suami pemeran utama. Apa yang kamu lakukan?"

"Oh? Pertanyaan macam apa itu?"

"Seandainya."

"Kenapa harus seandainya?"

"Seandainya aku tidak bisa memberimu anak sama sekali, seperti pemeran utama perempuan di drama itu. Apa kamu akan meninggalkanku atau kamu akan meminta izin menikahi wanita lain?"

"Ahaha... kamu ini kenapa sih kok aneh sekali? Sepertinya betulan demam ya?"

"Jawab saja."

"Aku nggak mau menjawab, karena hal itu bukan sesuatu yang bisa dimisal-misalkan. Jangan berpikir aneh-aneh. Kamu pasti hamil. Pasti."

"Satya...."

"Aku tahu, kamu pasti jadi kepikiran gara-gara nonton drama itu. Lagipula usia pernikahan kita bahkan belum genap setahun. Di luar sana banyak orang yang harus bersabar bertahun-tahun untuk menunggu seorang anak. Sudah jangan khawatir. Tenang saja aku akan menunggunya dengan sabar. Lupakan dramanya. Lebih baik nonton film horor saja. Oke, Sayang. Aku tutup teleponnya ya. Aku masih harus menemui seseorang, meeting urusan restoran ini. Kamu langsung pulang dan istirahat. Oke?"

"Hm. Baiklah. Semoga launching restoran barunya sukses."

"Ya. Pasti. Aku mencintaimu."

"Ya." Maya langsung menutup teleponnya tanpa membalas kata-kata 'aku mencintaimu' dari Satya. Biasanya hal itu menjadi sebuah ritual rutin saat mereka mengakhiri percakapan di telepon.

Selamat Datang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang