Maya menghela napas berat sambil melihat antrian panjang di depan ruang poliklinik dokter spesialis kandungan.
"Aku cuma masuk angin doang, Sat. Kita nggak perlu ke rumah sakit begini. Antre banget lagi, weekend sih!" untuk kesekian kalinya Maya mengeluh ke Satya yang lagi-lagi cuma membalas dengan senyuman yang seolah bilang bahwa dia tetap harus periksa ke dokter kandungan, entah itu cuma masuk angin.
Setelah beberapa saat hening tiba-tiba Satya meletakkan kedua tangannya di pipi Maya, memaksa Maya menatapnya.
"Apaan sih?" Maya yang sedang melamun terkejut.
"Bulan ini kamu belum... belum kan?"
"Belum apa?"
"Belum datang bulan." Satya menarik tubuhnya lebih dekat dan berbisik kepada Maya.
Maya menggeleng. "Udah deh Sat, siklusku memang nggak terlalu lancar. Dulu juga pernah telat beberapa minggu lho. Dan pas kita periksa aku cuma kecapekan kata dokter. Jangan terlalu berharap!"
Sekarang giliran Satya yang mengehela napas. Ya, Satya ingat ini bukan pertama kalinya dia mengantar Maya ke dokter kandungan dengan perasaan harap-harap cemas. Namun saat sudah diperiksa ternyata memang Maya tidak hamil. Hanya siklus datang bulannya yang kurang teratur. Bahkan biasanya setelah itu dokter kandungan bukannya memberi semangat kepada Maya justru malah membuatnya semakin putus asa dengan mengingatkannya soal penyakit kandungannya.
"Waktu asam lambungku kumat, Ibu juga heboh banget bilang aku hamil. Pas periksa padahal cuma sakit maag." Maya melanjutkan dengan wajah sedih. "Aku udah nggak berani mikir yang begitu lagi. Yang ada cuma kecewa."
Satya mengusap lembut kepala Maya, dan keduanya kembali terdiam.
Rasanya agak risih melihat barisan ibu-ibu di ruang tunggu, dengan perut membuncit atau seorang bayi di pelukannya. Seorang suami yang sedang asyik mengusap lembut perut istrinya dengan sayang. Perasaan iri membuat kepala Maya semakin terasa nyeri.
"Nomor antrian, 41." Seorang suster keluar dari balik pintu ruang dokter kandungan dengan pandangan tersebar ke arah kursi tunggu. Maya bahkan tidak ingat dengan nomor antriannya. Dia masih diam saja sambil memainkan ponsel.
"Ayo, May! Kita dipanggil tuh!" Dengan sigap Satya langsung bangun dan menarik istrinya ke dalam. Maya menghela napas untuk kesekian ratus kalinya sejak tiba di rumah sakit itu beberapa saat lalu. Ada rasa ngilu di dadanya, dia merasa kali ini sepertinya Satya sangat berharap. Dan membayangkan hal itu terlalu menyakitkan. Satya sangat ingin punya bayi, sementara dia... ah, sudahlah!
"Duh, pelan-pelan, Pak. Ibunya jangan ditarik-tarik begitu." Kata perawat wanita sambil terkekeh pelan kepada Satya.
"Dia memang kasar, Sus. Maklum biasanya perang sama pisau dapur jarang pegang tangan perempuan." Sempat-sempatnya Maya membisiki perawat yang akhirnya cuma bisa menahan tawa.
Seorang dokter wanita menyambut mereka dengan senyum hangat. Maya diminta untuk langsung berbaring dan melakukan beberapa pemeriksaan.
"Bu Maya pernah didiagonasa mengalami Septate Uterus?" tanya Dokter kandungan itu sambil mencopot stetoskop dari telinga selesai memeriksa Maya.
Maya mengangguk, "Saya sudah bilang cuma masuk angin, tapi Ibu saya memaksa ke dokter kandungan. Saya tahu kehamilan untuk saya sangat mustahil, Dok." Dokter Lastri hanya tersenyum mendengar kalimat Maya. Wanita dengan senyum hangat itu mungkin usianya sekitar empat puluh tahunan. Wajahnya sangat teduh dan keibuan.
Dibantu perawat Maya kembali duduk di kursi dan dokter pun kembali duduk. Siap-siap menjelaskan hasil diagnoasanya sambil membolak-balik data pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Datang Cinta
RomantizmSELAMAT DATANG CINTA - benarkah cinta bisa hadir belakangan? -- sebuah cerita karya Juwita Purnamasari -- Sinopsis : Bahkan, sehari sebelum hari pernikahannya, Maya belum tahu seperti apa warna mata laki-laki itu, bagaimana suaranya, apa makanan k...