Bab 4 - Memisah Raga

1.4K 114 6
                                    


Apa yang hendak dikata bila melihat tubuh sendiri? Seperti mimpi yang berlaku di mana mata kita mampu melihat segala dan tetap menjadi tokoh utama. Melihat sekitar dan pula melihat diri sendiri. Dalam mimpi-mimpi itu ibarat kita memiliki memori lain yang bahkan baru, tak terkait sama sekali dengan kenangan di alam sadar. Pernah merasa seperti itukah? Bagai ia memiliki dunianya sendiri yang terlampau jauh berbeda.

Di manakah letak ruh? Tiada yang tahu pastinya. Apakah ini ruh yang sedang berjalan memisah raga? Jaya tak memiliki jawabannya. Ia terlampau heran seheran-herannya.

Ia dihempas rasa takut yang mencekam ketika jatuh tertidur. Ia yang terdapat dalam badan hendak memberontak namun tak sangguplah mengendalikan ragawi. Begitu berat. Seperti mimpi tertindih gajah menakutkan. Namun tentu saja berbeda kali ini. Serta merta dirinya membelah menjadi dua. Satu berwujud padat, satu berwujud halus.

Satu yang berwujud padat tengah tertidur pulas, kegiatan yang telah lama ia hindari. Melihat napas itu terhembus teratur dan tenang membuatnya meragu. Sesungguhnya apalah yang ia takutkan selama ini? Apa yang mencekiknya sampai hampir mati? Apakah itu hantu cekik atau sesungguhnya pertempuran jiwa raga?

Satu yang berwujud halus mengamati rupa diri. Ia seringan udara. Masih menyerupa manusia dengan tampilan yang serba putih transparan. Terdiam lebih lama ia mengawasi diri nyata yang terlelap. Satu pertanyaan yang mengambang-ambang: apakah ia nanti ingat ketika bangun nanti? Apakah ini yang orang-orang bilang, ketika bermimpi ruh kita berjalan-jalan?

Wujud halusnya telanjang. Aliran darah seperti aliran energi elektrik mengaliri kabel-kabel daya. Segala yang ia lihat masih serupa dunia nyata. Menjejaklah ia mencoba, menapakkan kaki tembus pandang ke lantai keramik putih kontrakan Jaya. Terliputi rasa ingin tahu ia menjajal menyentuh barang. Sebuah vas bertangkai bunga mawar layu pemberian kekasih yang ia tak tahu kenangannya, ataukah mawar itu adalah miliknya sendiri yang tertolak. Ia menyentuh dengan ujung jarinya yang berlumuran kemilau putih pasir-pasir berkilau matahari. Vas itu jatuh.

Amin di dapur tengah memasak mi rebus rasa soto memanggil. "Jay?"

Jaya wujud halus menilik ke dapur. Ia otomatis menjawab. "Ya Min?"

Amin yang masih mengaduk bumbu dengan air panas mengernyit, sorot matanya menembus sosok halus Jaya. "Jay? Kamu sudah bangun? Cepet amat." Amin mengangkat mi yang telah matang lalu menuangkan ke mangkuk. Kemudian berjalan menembus sosok halus Jaya, kepul hangat mi kuah soto bercampur dengan tubuh halus Jaya yang putih keperakan.

Jaya sendiri hendak menghindar, ia terdesak ke tembok dan anehnya wujud halusnya menembus tembok. Sekilas ia melihat kontrakan sebelah, sepasang suami istri tengah berbuat. Segerakan ia kembali lagi. Mendengar Amin berkata. "Tidur saja dulu kamu Jay. Obat tidurnya sudah bekerja kan."

Jaya halus berharap Jaya padat sedang bangun dan berbincang dengan Amin. Nyatanya tidak, masih pulas tak terganggu walau suatu waktu gempa pastilah ia masih tenggelam dalam tidur.

Mendengar ucapan Amin mengenai obat tidur itu, menyalakan sumbu amarah Jaya. Tega-teganya Amin! Padahal sebelum terjatuh dalam lelap dan memisah raga begini, ia hendak menyampaikan deritanya. Apa saja bisa terjadi bilamana ia tidur, terutama ancaman kematian akibat tindihan dahsyat itu.

Jaya geram melihat Amin enak-enaknya menyantap mi kuah soto. Santai menyelonjorkan kaki di atas meja. Bahkan tak peduli vas bunga mawar layu itu tergeletak di atas karpet, airnya merembesi.

Ia tendang saja Amin. Kawannya kelabakan sampai mi kuahnya tumpah. Ia menoleh ke sana kemari dengan mata bertanya-tanya ngeri. Kuah yang masih panas menyiram celananya, mi berantakan mengotori sofa. Ia bangkit gelagapan kabur ke kamar mandi. "Sial." Lalu ia kembali untuk membersihkan mi yang tumpah. Sesekali tanpa tahu malu, ia mencicipi mi tersebut. "Sayang." Katanya.

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang