Bab 5 - Sepucuk Surat

1.2K 103 1
                                    

Segala serba memburam. Warna-warna bertubrukan. Menyebabkan ledakan-ledakan serupa perpaduan antara kembang api, bubuk warna, dan spektrum warna. Menjadi kesatuan denyut-denyut cahaya yang lembut. Menggenang di permukaan mata.

Di antara denyut-denyut warna itu, bermunculan bentuk-bentuk, pola-pola yang rumit, saling mengulang dan saling mengejar. Bentuk-bentuk datar segi lima, segi enam, segi tujuh, segi delapan, begitu seterusnya sampai mewujud lingkaran yang mengecil dan membesar memusingkan mata.

Kadang menjadi pusaran, mata badai. Dengan warna yang berganti-ganti. Merah, ungu, hijau, biru, kuning, jingga adalah warna yang mendominasi. Lalu menjadi rupa-rupa bunga, yang dijalin oleh garis-garis percik elektrik. Memancar-mancar, berdenyut-denyut, hilang timbul. Lambat laun terasa berirama, menghanyutkan, menyeret ke dalam santai. Telampau santai sampai lupa waktu.

Dentum-dentum menggerakkan jantung. Irama konstan yang tak henti-henti. Menghipnotis tiada terlawan. Tak ada tanda-tanda dalam diri untuk menolak. Ikut saja dalam permainan warna dan cahaya ini.

Sampai mencapai sebuah ledakan besar. Ledakan warna-warna. Memutih membutakan mata. Kemudian dilahap kegelapan pekat. Sampai mata mampu beradaptasi, muncullah garis lurus hijau yang bergetar di setiap rentang jarak, membarengi denyut jantung. Getar-getar kehidupan.

Dan Jaya membuka mata.

"Syukurlah. Kamu sudah sadar, Jay." Amin beranjak dari kursi tunggu, membetulkan kacamata bingkai besarnya.

"Di mana aku, Min?" Jaya mengedipkan mata berulang kali, penglihatannya masih samar-samar, berenang-renang di pelupuk mata.

"Rumah sakit Jay."

"Loh, memangnya aku sakit apa?" Jaya mengangkat tangan dan melihat infus di pergelangan.

"Hati-hati, takut lepas." Amin menaruh kembali tangan Jaya. "Kamu koma Jay." Jawab Amin, wajahnya prihatin dan sarat permintaan maaf.

Tangan Jaya yang satunya menyentuh hidung, di situ terpasang selang oksigen, ia pun meraba ke dada ada yang menempel di sana. "Loh, koma? Serius kamu? Kenapa aku bisa koma?"

Jaya melihat semburat keraguan di bibir Amin ketika hendak menjawab. "Kamu eh, tidur tak bangun-bangun. Jadi kubawa kamu ke rumah sakit. Aku khawatir."

Jaya memijat pangkal hidung, memejam sejenak. "Kok bisa Min? berapa hari aku koma?"

"Dua minggu."

"Apa?" Jaya sampai mendudukkan diri. "Dua minggu?" mendekati jeritan.

"Jay Jay, pelan-pelan, syukur kamu sudah sadar sekarang. Aku panggil perawat dulu." Amin memencet sebuah tombol.

"Serius kamu Min? dua minggu aku tidur tak bangun-bangun?" Gerombolan rasa yang buruk menyerbu hati Jaya.

"Iya, kamu tidak sadar selama dua minggu."

"Waduh gawat." Jaya menepuk dahinya. "Tapi tunggu... ada yang kuingat." Satu hal. Dan hanya satu itu. Sebelum mata terpejam dan kelelapan menelan selamat berhari-hari. "Kamu memberiku obat tidur kan Min?"

Amin menggaruk belakang kepala, menyengir. "Iya Jay. Aku terpaksa."

Jaya mengepalkan tangan menahan amarah yang menggelegak bagai lahar panas dalam perut. "Bisa-bisanya kamu Min. Aku tidak minta diberi obat tidur. Aku mau menjelaskan sebab yang buat aku tak bisa tidur, Min. Kamu tidak tahu betapa menyeramkannya jika aku tertidur, Min. Kamu kurang ajar, Min. Aku kecewa." Mata Jaya panas.

"Maaf Jay, aku berbuat begitu karena aku khawatir. Kamu parah sekali kondisinya. Kamu jelas-jelas butuh tidur. Bisa-bisa kepalamu meledak kalau kamu tak segera tidur."

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang