Lama Jaya diam membeku. Entah mengapa demikian terjadi. Seperti ada sosok sehalus udara yang membekuknya di tempat. Keinginan untuk bergerak tetiba saja diredam. Mata Jaya menilai-nilai sosok orang yang memilih dipanggil Eyang itu. Mata orang tua itu segaris saja. Tak yakin ia apakah Eyang sedang tidur sambil berjalan, atau memang beliau bermata sipit? Namun penampakan diri dan pembawaannya menyatakan Eyang Wiro ini berasal dari tanah Jawa. Tepatnya Jawa Timur?
Eyang Wiro ini lebih cocok disebut dalang. Dandanannya sudah padan. Tinggal sediakan gedebok pisang untuk menancapkan wayang-wayang, lalu layar kain putih dengan lampu menyoroti. Dadakan, bisa tergelar acara tanggapan wayang semalam suntuk.
Tatap mata mereka bertemu. Ada gelegar denyut dari jantung Jaya. Sesuatu yang janggal. Mungkin itulah yang membuatnya mematung seperti ini. Jaya membersihkan tenggorokannya yang tercekat dengan berdeham, dan menggelengkan kepala. "Eyang Wiro?"
Sekian detik yang terasa selamanya itu, segala strategi labrakan luruh tersiram. Membuat lutut lemas dan gentar. Eyang Wiro turun dari tangga. Sandal bakiak menghentak lantai keramik, pelan tapi pasti, ketukannya menghanyutkan pikiran dari derasnya tanda tanya.
"Silakan duduk nak Jaya." Ucapan ramah dari sesosok misterius itu sungguhlah mengagetkan Jaya dari lamunan dalangnya. Yang entah bagaimana sudah mencapai epos Ramayana. Ragu-ragu Jaya menarik tempat duduk di depan meja resepsionis. "Ada sofa empuk dan nyaman, baru kupesan minggu lalu. Mari duduk di sana saja." Eyang Wiro menunjuk dengan jarinya yang gemuk dan bertatahkan cincin batu akik ikatan perak berbatu hitam legam sebesar biji salak.
Sofa panjang itu warna merah berbahan beludru. Betul masih baru, aromanya masih kentara toko. Jaya kikuk mempersilakan Eyang Wiro untuk duduk duluan. Semua kekesalan yang mengendap entah kini ke mana arahnya. Seolah tak pernah tersimpan. Jaya terhanyut oleh ramah tamah Eyang Wiro. Meski orang tua itu sama sekali belum menawarkan senyum.
Eyang Wiro hati-hati menaruh tubuh gemuknya tapi sofa tersebut menjerit. Padahal sudah pelan-pelan ia meletakkan diri. "Berkali-kali aku mencari sofa yang kuat menahanku, belum ketemu juga."
Jaya tak tahu harus bersikap apa menyaksikan keganjilan ini. Ia mengedarkan cengiran. Mengambil duduk di sofa sejenis yang melengkapi tatakan L di sisi kiri ruang tamu. Satu meja kaca tempat majalah, kotak tisu, brosur promo perjalanan, vas bunga kecil berletak. Melengkapi tata ruang tamu tersebut.
"Baik nak Jaya, mengenai surat-surat yang aku kirim itu."
Sejalar gelombang hangat merambati jantung Jaya. Ia mengernyit, orang tua ini langsung ke intinya. "Betul Eyang. Tentang surat-surat itu. Saya mau bertanya apa maksudnya?"
"Tentu saja surat itu tak sembarangan aku tulis nak Jaya. Aku memang memaksudkan surat itu kepadamu."
"Kenapa harus ke saya?"
"Tentu saja harus kau."
Nah, di sini kesal yang kemarin-kemarin itu mulai mengintip mau masuk. "Iya, tapi kenapa harus saya?"
"Ya karena harus kau."
Jaya mendelik tak sabar. "Kenapa saya?"
"Pertanyaanmu barulah tepat. Baru aku bisa jawab. Dikarenakan kau sedang mengalami masalah. Jangan menyangkal, betul kan?"
Dari surat-surat yang Eyang Wiro kirim saja memang sudah menyiratkan dia tahu masalah Jaya. Masalahnya, bagaimana dia bisa tahu? Jaya mengangguk.
"Akhir-akhir ini kau menolak tidur dan berusaha keras untuk senantiasa terjaga. Kau takut terhadap apa yang bersembunyi di balik mimpi, kau takut apa yang akan terjadi bilamana kau memejamkan mata dan terlelap. Ada yang terenggut dari dirimu. Kesejatianmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...