Bab 20 - Pintu Alam Lain

818 68 16
                                    


Bangun... buka matamu... dunia luas membentang

Tidak seperti yang kau pikir..

Sudah beberapa kali pagi ia tersentak bangun dan telinga berdenging seperti habis diteriaki. Lalu kemudian menyusul nada statis seperti televisi rusak. Barulah suara bisikan itu terdengar. Bisikan yang mendorong niatan.

Acapkali pula dalam mimpi, wajah di potret di meja Eyang Wiro menghampiri. Berdiri jauh di batas dunia. Gaun putih berkibar ditiup angin rindu berwarna biru. Wajahnya bersinar bak bidadari. Wajah bulatnya itu... mata yang meneropong isi kalbu.. dagu yang belah seperti pantat bayi... memikat hati.

Dalam mimpi Jaya berusaha menggapai sosok menawan itu. Namun tak sanggup karena tepian batas dunia mengangakan jurang tiada tara lebarnya. Nekat ia berusaha meloncat, tapi gravitasi dasar jurang itu begitu kuat. Ditelan lahap ia ke dalam kehampaan. Menyusul bisik-bisik menyayat. Baru ia jatuh ke alam kesadaran. Terengah-engah setiap fajar.

Dirimu adalah kunci...

Buka matamu selebar-lebarnya..

Adalah beberapa rangkum kata yang mampu ia tangkap utuh dan terngiang-ngiang di langit-langit benak sepanjang hari.

Hampir saja itu menggoyahkan kegiatannya. Jaya hampir lupa menjemput pelancong sukma yang sudah tiga hari menetap di Nigeria. Kalau Jumari tidak datang dan menegurnya, bisa jadi si pelancong itu terlampau betah di sana. Karena benar saja, sewaktu Jaya menjemput, orang itu hendak kabur dan memotong tali jiwa peraknya.

"Bahaya nak bahaya." Kata Jumari. "Kau ada pikiran ya?"

Jaya menggeleng. "Ngantuk sedikit saja." Alasannya.

Kuat-kuat ia tepis bisik-bisik misterius itu. Sesulit apa pun. Ia goncangkan kepala kencang-kencang dan mempererat cincin batu akik hitam legamnya. Berharap benda itu berfungsi menghalau.

Jumari memandang prihatin.

Eyang Wiro sudah seminggu lebih tidak menampakkan diri. Jaya ingin menanyakan perihal potret itu. Pertanyaan itu rasanya sudah selalu di ujung lidah ketika ia memasuki kantor Astral Travel Agent. Untuk mengalihkan perhatian, Jaya menanyai Jumari. "Oh iya pak Jumari. Bisa ceritakan tentang orang sebelum saya?"

"Siapa? Oh, yang seperti nak Jaya?"

Jaya mengangguk.

"Saya tidak terlalu kenal sama anak itu. Dia cewek, seumuran nak Jaya. Sudah bakat dari kecil. Katanya. Saya kurang tahu pasti. Karena waktu saya bergabung, dia sudah duluan di sini. Dan saya tidak mau repot-repot ngurusin urusan orang."

"Dia lebih hebat dari saya?"

"Mengenai hebat tidak hebat sih, saya tidak bisa menentukan juga. Karena nak Jaya, saya rasa belum menunjukkan kemampuan maksimal. Nak Jaya masih harus mengasah lagi. Kalau si cewek itu sih, seumur nak Jaya sudah tidak perlu menyentuhkan jari lagi ke ubun-ubun orang untuk mengirim badan astral."

"Hah? Terus?"

"Cuma pakai jentikan jari." Jumari menjetikkan jari. Samar-samar Jaya seperti melihat ada percikan api di sana. Ah, mungkin tipuan mata saja.

"Siapa nama cewek itu, pak?"

Mendadak getar dering muncul di saku Jumari. Ia buru-buru mengangkat. Menjauh dari Jaya sembari memberi isyarat minta waktu dan tempat.

Jaya menghela napas penat. Kepalanya mulai pusing lagi. Belum lagi kabar kekasihnya, Desi Nanda, yang menuntut balasan kabar. Entah bagaimana, relung pikirannya kini dipenuhi oleh potret gadis lain itu. Sementara remah-remah kenangan manis bersama Desi Nanda seperti buih cucian yang melarut di sungai.

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang