Barulah separuh hari Jaya sudah merasa nyaman berada di kantor Astral Travel Agent. Mas Slamet, seperti yang dikata Eyang Wiro memang rajin, asik, bisa diandalkan. Ya walau masih ada sebersit kesan ganjil mengenai tempat ini, Jaya tak merasa itu masalah besar.
Sewaktu Jaya menawarkan bantuan untuk menyapu debu, Slamet mencegahnya. "Nggak usah mas Jaya, itu kerjaan saya. Semua sudah dibagi tugasnya oleh Eyang Wiro. Tugas saya ya ini, dan itu, dan itu juga." Slamet tertawa.
Jaya menyeringai sembari menggaruk kepala. "Terus kerja saya apa dong? Jangan sampai gaji buta nih."
"Sudah santai saja dulu mas Jaya. Duduk-duduk di sofa baca majalah atau mau baca koleksi buku Eyang? Nanti saya ambilkan beberapa. Mau bikin kopi atau teh juga bebas, dapur ada di situ." Slamet menunjuk ke belakang. Dapur berletak di balik lemari besar yang bertugas ganda menjadi tembok batas. Folder odner berbaris di sana.
"Mas Slamet tinggal di mana?" Jaya membuka bincang ramah tamah. Mengambil duduk di kursi putar di hadapan meja resepsionis.
"Saya di Pamulang mas."
"Oh ya. Saya kuliah tuh di Universitas Pamulang."
"Saya mantan mahasiswa di sana." Slamet duduk santai di balik meja resepsionis, memotong kuku pakai gunting.
"Mantan? Maksudnya sudah lulus?"
"Haha, hebat saya kalo bisa lulus kuliah. Nggak, saya dropout. Kena penyakit."
"Penyakit apa mas?"
"Biasalah. Males." Slamet terbahak.
"Ooohhh." Mulut Jaya membentuk O besar. Tawa menyusul. "Memang sudah semester berapa waktu itu?"
"Baru satu." Slamet cengar-cengir bangga.
"Ngambil jurusan apa mas Slamet?"
"Komputer. Mas Jaya ngambil apa?"
"Sastra Inggris mas. Baru juga mulai."
Menjelang genap separuh hari, belum ada satu pun karyawan selain Slamet yang hadir. Mengundang tanda tanya. Slamet pun tak tampak beranjak juga dari kursi kerjanya. Sama sekali tidak menuju lantai dua. Tadi pun bersih-bersih tidak sampai menggenapi tangga atas.
"Mas Slamet, lantai dua tempat apa? Terus, karyawan di sini apa cuma mas Slamet saja ya?"
"Oh, lantai dua tempat khusus Eyang Wiro, saya bersih-bersih lantai dua kalau Eyang menyuruh. Kalau karyawan di sini memang saya sendiri mas. Karena Eyang cuma butuh untuk urus ini itu satu orang saja di sini."
Mendengar itu Jaya kembali lagi tercebur dalam pertanyaan dan keganjilan yang pertama ia rasa. "Loh, kok begitu ya mas. Lantas, saya direkrut disuruh ngapain dong?"
"Nanti tanyakan saja ke Eyang Wiro. Sementara santai saja dulu. Saya urus administrasi macam-macam, telpon sana-sini, catat pesanan perjalanan pelanggan dan lain-lain. Segitupun kerjaan saya masih sangat santai." Slamet meletakkan dua tangannya di belakang kepala, menyandar nyaman.
"Lha urusan keuangan begitu, siapa yang kerjakan mas?"
"Itu ada sendiri yang mengurusi, ada orang kepercayaan Eyang di luar yang mencatat semua arus keuangan."
"Eyang Wiro tinggal di ruko ini?"
"Eyang sebetulnya punya rumah di mana-mana, tapi memang lebih sering tinggal di sini. Kalau saya sedang tidak kerja, atau sudah pulang, Eyang yang terima pesanan perjalanan. Seperti motto Astral Travel Agent lah. Ke mana pun tujuan, akan kami antar. Itu betulan lho. Mau ke mana saja, pasti ada jalan. Eyang ini koneksinya luas banget, dalam ataupun luar negeri ada semua. Semua bisa diurus."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...