Bab 2 - Puing Kesadaran

2K 138 22
                                    

Dunia mewujud tebing-tebing terjal. Mengepungnya dari segala sisi. Sekali jentik, bebatuan meledak menjadi serpihan dahsyat, longsor melumat tempat ia berdiri. Tangan menggapai minta tolong. Tak satupun yang mendengar jerit itu.

Tertelan ke dalam. Tergerus kasarnya batu dan kerikil. "Tolong." Sia-sia.

"Jaya! Bangun!" tamparan berulang pada pipi.

Jaya terbatuk bangkit dari kelimbungan. Lidahnya terasa berpasir. "Ada apa?" Jaya berguling sembari meremas kepala, berdenyut-denyut nyeri.

"Kamu kumat lagi." Jawab si rekan. "Serius. Kamu harus pulang. Atau pergilah ke klinik." si rekan menyentuh kening Jaya. "Gila, kamu sepanas neraka saja."

Jaya menggeliat. "Ah, tak usahlah. Aku masih kuat, Amin."

Amin membantu Jaya bangkit. "Untung tak ada yang melihat kamu tidur di panel lagi."

Jaya membelalak. "Aku tertidur?" perasaannya berubah tak enak. Barusan ia sudah mati pasti.

"Kamu tidur ngorok tahu! Aku jadi ngeri dekat-dekat kamu. Bisa jadi kamu berubah jadi zombie. Wajahmu abu-abu begitu, cobalah mengaca."

Jaya menjambaki rambut tak percaya. "Aku tidur? Aku tidak mati?"

"Hush. Apa sih yang kamu bicarakan?"

"Rasanya tadi aku melihatmu terlindas. Aku mendorongmu hingga dilindas forklift itu."

"Loh, bagaimana bisa? Aku sedari tadi memasang kabel. Mengawasimu tidur tahu."

"Ya Tuhan." Jaya menghembuskan napas linglung. Realitasnya membingungkan. Terombang-ambing di batas kesadaran. Diawasinya telapak tangan dan kaki menjejak lantai konkrit pabrik. "Berapa lama aku tidur?"

"Tidak lama. Sepuluh menitan adalah."

Makin pening ia dibuat. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Ia telah berupaya sekeras mungkin untuk tak tertidur. Dan kini, dikatakan ia sudah tertidur, barang sepuluh menit, tak terjadi itu peristiwa mencekik leher. Berbeda. Kali ini berbeda. Oh ya Tuhan, apa yang sesungguhnya terjadi?

"Pusing?"

"Sangat."

"Istirahat saja kamu."

"Betul? Terima kasih ya."

Amin mengirim keplakan pada belakang kepala Jaya. "Enak saja. Bantu aku memasang kabel dulu."

"Iya iya." Jaya mengulur kabel dan mengurutkan sesuai peletakannya seperti pada gambar rancangan. Tangannya gemetar memutar obeng, sekrup-sekrup kecil berjatuhan. "Maaf maaf." Ia menjumputnya, kali ini berusaha lebih cermat. Membuka mata lebar-lebar. Diiringi perasaan ganjil dan janggal karena baru saja ia tertidur, sesingkat itu energinya terisi ulang, sedikit cukup untuk menawarkan dua minggu lebih tak tidur. Jika ini berlangsung kembali, boleh jadi Jaya tak lagi harus ketergantungan terhadap minuman energi dan kopi. Dan pada akhirnya, ia berharap kutukan ini menyingkir.

Tetap saja, ia masih ngeri dengan apa yang menyambut ketika ia tidur nanti. Bila saja ia memutuskan untuk tidur nanti malam. Saat ini, ia masih bertahan untuk tidak.

"Jika suatu kesempatan aku bertemu hantu dan sedang bersama kamu, bisa jadi hantu itu lari terkencing-kencing melihatmu." Kata Amin.

"Ah, hantunya takut melihat jenggotmu itu lah."

"Gila gila. Aku heran bagaimana kamu bisa bertahan selama ini dengan kondisimu saat ini. Kamu tidak histeris melihat pantulan wajahmu di kaca?"

"Aku sudah biasa. Aku lebih histeris bila melihat wajahmu, Amin. Jenggotmu itu ngeri-ngeri sedap."

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang