Nikmat alunan lagu membuat kepala bergoyang bak rumput tertiup angin. Ikut saja menuruti irama dan syair yang terlantun. Syahdu memanjakan sukma yang mendamba sentuhan makna.
Liriknya telah hapal di luar kepala. Jaya memutar berulang kali lagu itu selama beberapa hari terakhir. Setelah sebuah kesadaran ia terima. Mengenai kondisinya waktu lalu. Yang ternyata adalah sebuah kemampuan menakjubkan. Walau masih sejauh jengkal kaki, Jaya dapat meraga sukma.
Dan lagu yang tengah ia dengar ini, seperti menjawab dalam sirat makna apa yang tengah dialami. Dan lagu itu pula yang mengiringnya bertemu gadis jelita yang menarik hati.
Liriknya tepat menggambarkan situasi.
Saat gadis jelita itu masuk kelas, semerbak...
Sewangi.. bunga mawar tubuhmu..
Menghampar di permadani..
Mengetuk hasrat tuk menjamah.. surgamu..
Lalu ketika si gadis elok rupa itu memberinya senyum manis manja,
Kilaumu.. bagaikan mutiara..
Menghiasi muka bumi..
Warnamu yang kujilati.. sendiri...
Kemudian hentakan sajak yang ditunggu-tunggu, ketika si gadis menggeser kursi dan duduk tepat di sebelahnya.
Kuyakinkan restu bumi..
Bangunkan jiwaku..
Basuhi raga kita..
Restu bumi leburkan hati..
Sucikan dari debu dunia..
Ya Tuhan.. dengkul Jaya lemas. Si gadis jelita berparas elok cerah, mata jahil yang menyirep kata untuk selalu menyapa, bibir mungil yang merah dan menggoda, suara manja yang senantiasa melemahkan jiwa. Bilamana tidak dibalas, hati akan gundah gulana. Sisa sajak memudar ketika si gadis mulai menggerakkan bibir mengutarakan sapa.
"Hai." Senyumnya melengkung indah. "Lagi dengerin apa?"
Pada mulanya Jaya seperti terdampar di pulau keterpanaan. Ia terombang-ambing ombak yang mencuci habis dirinya. Ia melebur dalam momen. Debu-debu dunia tersapu. Secara cepat naluri mengambil alih. Membangunkan jiwa yang tersesat dalam rimba kejelitaan. Membasuh raga untuk sadar. Hei ada gadis jelita bicara denganmu!
Jaya melepaskan satu sumpal telinga kepada si gadis. "Coba dengar, lagunya enak." Kata Jaya menawarkan.
Si gadis tak ragu menerima itu. Ia pasang di telinga kanan, sedang milik Jaya di telinga kiri.
"Kuputar ulang ya."
"Boleh. Kalau bagus kirimi ya."
Jaya sebetulnya tak sadar pipinya sudah begitu merah karena gugup. Tangannya pun bergetar. Sampai salah memencet tombol lagu berikut. "Maaf, salah." Ludahnya seperti terkuras. "Nah ini dia. Judulnya Restu Bumi."
Selagi lagu itu memutar ulang, di kepala Jaya pun memutar ulang momen sakral ketika bertemu gadis ini. Ia tengok gadis itu. Tengah memejamkan mata dan menggoyangkan kepala menyusuri tiap alunan melodi. Perhatian Jaya pun tercuri. Lama ia mengamati paras cantik itu. Meneliti ukiran Sang Pencipta yang tanpa cela.
Jaya tergeragap. Si gadis membuka mata mendadak sekali. Jaya telat membuang muka. Ah sudah terpergok basah. Si gadis tersenyum usil. "Boleh juga lagunya. Omong-omong, namaku Desi Nanda." Ia menawarkan jabat tangan putih lembut halusnya.
Di dalam benak Jaya yang terjadi seperti ini: Jaya sendirian di hamparan rumput hijau, lalu seorang bidadari cantik menaiki awan dan bunga teratai sebagai cawan terbangnya, mengulurkan tangan yang memancarkan cahaya.
Kelas yang ramai jadi begitu mudah diabaikan. Momen bersejarah ini meniupkan angin hangat ke diri Jaya. Hanya ia yang merasakan ini. Ia merasa teristimewa diajak berbicara gadis jelita ini. Di antara pilihan yang ada selain Jaya.
Tangan itu betulan hangat dan lembut. Cengkeraman jabatan yang lunak dan sejenak itu memberi tendangan kesadaran bagi jiwa dan hati Jaya yang sepi. Si gadis ini, mau bagaimana pun, sudah masuk ke hati Jaya.
"Ahmad Jaya." Akhirnya sah jabat tangan itu. Satu koneksi terjalin.
Percakapan bergulir dengan basa-basi pembuka pertemanan. Jaya sangat menikmati setiap menitnya. Gadis itu pun tampak menenggelamkan diri dalam percakapan dengan Jaya. Sebuah minat yang murni. Ragam pasang mata teman lelaki sekelas sepertinya iri dengan Jaya, beda dengan mas Teguh yang memberikan alis terangkat sambil tersenyum lebar.
"Kamu pakai batu akik? Bagus deh, coba lihat." Desi Nanda walau tak dipersilakan, sudah menggamit tangan kanan Jaya. Menyentuh pelan cincin batu akik hitam milik Jaya seolah benda itu gampang pecah.
"Pemberian dari bos." Jaya memberitahu seadanya. Tak mau membeberkan khasiat asli cincin itu.
"Boleh dilepas?" Desi Nanda bertanya dengan nada manja.
Jaya ingat larangan Eyang Wiro. "Eh, kayaknya tidak bisa. Harus pakai sabun biar licin. Soalnya sudah sesak sekali." Jaya tahu itu bohong yang buruk sekali.
"Oh." Desi Nanda terdengar kecewa. Tapi segera ia beralih topik. "Ohya, katamu tadi kamu kerja di agen perjalanan ya? Boleh dong nanti-nanti aku pesan tiketnya sama kamu. Tapi kasih diskon yang cantik ya."
"Ya boleh banget Desi. Diskonnya kalah cantik sama kamu sampai-sampai tiketnya kugratiskan. Yuk, kapan-kapan, wisata bareng sama saya." Aduh, terlalu cepat?
Desi Nanda tertawa kencang mendengarkan jawaban itu, sampai semua teman kelas termasuk dosen yang mengajar mengalihkan pandang kepadanya. Desi meringkuk malu ditumpahi perhatian seperti itu, ketika mereda ia berbisik ke Jaya. "Ya asal tidak ada yang cemburu, ayo aja."
Bagai roket Jaya meluncur demikian cepat. "Saya jamin tidak ada."
Desi Nanda tertawa tanpa suara, melirik centil ke Jaya. Entah jawaban apa yang disampaikan mimik itu.
******
Jaya menceritakan kisahnya itu kepada Amin. Betapa jalinan yang baru terbentuk beberapa minggu itu kian lama kian melekat. Beberapa kali Jaya mengantarkan pulang si gadis jelita dan mengajaknya duduk di bangku taman di bawah temaram lampu malam. Jaya jatuh hati kepada Desi Nanda.
"Hati-hati jangan sampai kamu terluka lagi, Jay."
Pesan Amin itu tentu tentang kisah asmara lalu yang Jaya sama sekali tidak ingat.
******
"Bagaimana, putriku? Kulihat kalian semakin lama semakin dekat dan lekat."
"Ia terpikat padaku, Ayah. Itu sudah terlihat jelas."
"Apakah kau sudah berhasil membuatnya melepaskan cincin?"
"Sabar Ayah. Kita tidak bisa terburu-buru. Meskipun ia sudah terpikat padaku, tapi aku belum memiliki seluruh kepercayaannya padaku. Jangan sampai ini prematur dan mengacaukan segalanya. Bisa-bisa misi kita gagal."
"Baiklah. Kau upayakan terus."
"Baik Ayah. Akan kurebut segenap hatinya. Akan kukuak kesejatiannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...