Langit-langit alam Watukayu berubah warna. Gelenyar kejinggaan campur ungu bergelombang seperti aurora. Kemudian gemuruh petir menyusul. Sesuatu yang jarang terjadi selama awal penciptaan alam ini. Sahut menyahut bak sedang bertikai.
"Sudah dekat." Kata Nyai Laksmi.
Tiga pendekar abu-abu saling tukar pandang. Mereka pun gelisah terhadap gejolak yang terjadi.
"Kita terlambat. Pintu alam telah dibuka. Tinggal menunggu para penghuni alam itu sadar. Terutama yang berniatan jahat." Nyai Laksmi berjalan bolak-balik perlahan, mengunyah gumpalan daun. Matanya memejam dan membuka dengan warna putih saja. Nyai tengah menerawang menembus tabir langit.
"Kami akan menguncinya lagi." Kata Darto.
"Ya, coba kalian kunci lagi. Yang kukhawatirkan adalah, kunci yang telah membukanya itu bukanlah sekedar kunci seperti yang kalian punyai."
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin."
******
"Semakin sering kau mengirim sukma orang ke tempat lain, semakin kuat kesadaran astralmu." Ucap Eyang Wiro. Orang tua itu menghenyakkan badan di kursi goyangnya. Mengambil jenak waktu sebelum lanjut menjelaskan. Mengamati Jaya yang tengah mengatur napas. Keringat bercucuran di kening Jaya.
"Yang tadi itu..." Jaya terhenti, seolah melihat arwah gentayangan di belakang Eyang Wiro.
"Pintu alam lain."
"Tapi, bagaimana aku bisa kembali? Eyang yang menarikku?"
"Betul. Aku merasakan kau tengah dirundung bahaya. Aku langsung pergi ke rumahmu dan berusaha menarikmu kembali. Tadi itu sulit. Yang barusan kau alami itu sangat berbahaya, untunglah aku tidak terlambat. Terbukanya pintu alam lain, kemungkinan besar tercium oleh makhluk-makhluk jahat yang hendak menginvasi dunia kita. Dan orang dengan kemampuan sepertimu, banyak diincar."
Inilah saat yang tepat untuk menggulirkan pertanyaan itu. "Eyang."
"Apa Jaya?"
"Apa yang terjadi dengan orang sebelumku?"
Eyang Wiro kentara menarik napas dalam dan berat.
Jaya tahu itu adalah tanda keberatan, mungkin ada trauma di baliknya. "Jika Eyang tak berkenan menjawab, tidak apa-apa."
"Tidak-tidak. Aku akan ceritakan." Eyang menyesap secangkir teh hitam panas sampai habis. Eyang bangkit dari kursi goyang, menuju meja dan mengambil bingkai potret kecil.
Jantung Jaya berdebar, matanya nyalang terbuka. Ia perhatikan lekat tangan berbonggol Eyang Wiro meraih potret itu.
"Memang sudah saatnya aku bercerita kepadamu, Jaya. Tentang pendahulumu, yang sama memiliki bakat sepertimu. Dia adalah putriku."
Jaya seperti terhantam. Rahangnya jatuh. Walau tadinya ia sudah menduga bahwa potret itu adalah putri Eyang. Mengenai kebisaan meraga sukma itu yang menohoknya.
"Dari semenjak kecil putriku itu sudah menunjukkan tanda-tanda mampu meraga sukma. Suatu hari dia tak bangun-bangun selama dua hari. Sewaktu sadar, badannya penuh pasir pantai. Umurnya waktu itu tujuh tahun. Dengan gembiranya dia bercerita habis berpetualang. Tangannya menggenggam mutiara hitam.
"Kebetulan aku ini adalah praktisi ilmu kebatinan, kejawen. Jadi aku putuskan untuk mengasah bakat putriku itu. Mengajarinya supaya tidak lepas kendali. Bahwa alam yang kita huni tidak cuma satu. Dan masing-masing alam tidaklah boleh saling mengusik. Bisa runyam perkara bila kau mencoba mengusik salah satu.
"Putriku itu cepat sekali menyerap bakatnya. Sangat memahami dan mudah sekali melakukan raga sukma. Bahkan ketika ia masih sadar. Ia bisa berada di dua tempat sekaligus. Aku sangat kagum terhadap putriku. Mahakarya Sang Agung yang dititipkan padaku.
"Bisnis Astral Travel Agent ini sesungguhnya diprakarsai oleh putriku. Aku menuruti, dan memang pundi-pundi rejeki meningkat drastis. Putriku mampu mengirim sukma orang dengan sekali jentik, tanpa susah payah. Kau tahu apa yang kutakutkan?"
Jaya tengah menahan gejolak ganjil yang meremas jantung ketika dipampangkan potret gadis itu lagi. "Eyang takut kalau-kalau putri Eyang lepas kendali karena dibikin jengkel oleh orang. Seperti yang kualami waktu itu."
"Persis. Putriku itu memiliki sifat temperamental. Ia gampang kesal. Jika permintaan tidak dituruti, bisa gawat. Itulah kesulitan terbesarku dalam menjaganya. Bakat yang dia miliki itu, bila sembarangan dikembangkan, bisa kacau. Bisa mengacaukan tatanan dunia."
"Apa yang terjadi dengan putri Eyang? Ke mana dia sekarang?"
"Peristiwanya sama persis seperti yang kau alami barusan. Hanya bedanya, putriku sengaja mencari pintu dunia lain. Putriku itu sifat ingin tahunya besar sekali, hal yang paling sulit kubendung juga. Ternyata benar sifat ingin tahu itu kadang berbahaya. Aku terlambat menyadari, putriku telah masuk ke salah satu pintu alam lain. Ia lenyap dari dunia ini. Masuk ke dunia lain."
"Hah?" Jaya terkejut. "Apakah dia diculik?"
"Kupikir begitu."
Jaya berusaha menelan informasi itu. Kemampuannya belum ada apa-apanya ketimbang dengan putri Eyang Wiro. Memikirkan diculik oleh makhluk dari alam lain membikin merinding. Tetiba Jaya terserang dingin. Gigi bergemeletuk menggigil.
Eyang Wiro bangkit dan mendekati Jaya, tangan terulur dan mendarat di bahu Jaya. "Aku ada satu permintaan kepadamu."
Jaya khawatir permintaan itu seperti yang ia duga. "Permintaan apa Eyang?"
"Aku yakin kau mampu melakukannya. Walau resikonya memang besar."
Jaya semakin yakin permintaan itu memang seperti yang ia pikir.
"Tolong kau kuasai kemampuanmu membuka pintu alam lain, dan temukan putriku, bawa ia kembali. Aku rindu kepadanya." Ada secuil isak di akhir kalimat.
Jaya gelisah. "Tapi Eyang, aku takut tidak bisa melaksanakannya. Aku tidak tahu cara membuka pintu itu lagi. Terlalu mengerikan."
"Aku tahu. Aku tahu ini permintaan sulit dan hampir mustahil. Tapi dengan bakat yang kau miliki, kau bisa melakukannya. Kumohon nak Jaya, kembalikan putriku yang tersesat itu, yang mungkin diculik makhluk jahat dari dunia lain. Bawa dia kembali, kumohon, tempatnya bukan di sana."
Jaya garuk-garuk kepala tak enak hati menolak. Apakah benar dia bisa? "Bagaimana caranya Eyang?"
"Kau harus berlatih Jaya. Latih kembali ketidaksengajaan yang kau alami barusan. Kau bulatkan lagi tekad dan fokuskan kesadaran."
"Jika aku berhasil, bagaimana cara aku bisa tahu mana pintu yang benar? Mana pintu alam tempat putri Eyang diculik?"
"Itu bagian tersulitnya memang. Kau harus mengaktifkan mata batin, mata yang mampu menerawang menembus tabir dimensi. Bawa potret ini." Eyang menyerahkan potret putrinya itu kepada Jaya. "Mungkin bisa membantu mematri di alam bawah sadarmu."
Jaya menerima takut-takut, tangannya gemetaran menggenggam bingkai. "Si.. siapa nama putri Eyang?"
"Sukma Ayu adalah nama putriku."
Jaya menatap lama potret gadis berdagu belah itu, yang matanya menyorot menembus sukma Jaya. Seiring mata bertemu mata, jantung Jaya berdentam kencang seperti ada petinju yang sedang berlatih memukulinya. "Sukma Ayu." Ucap Jaya lirih.
"Tidak usah terburu-buru Jaya. Kemampuanmu harus dilatih dengan benar. Usaha yang tergesa-gesa berujung pada celaka."
Jaya menarik napas panjang sembari mengangguk. "Apa yang harus kulakukan pertama-tama?" tanyanya, lebih ke potret Sukma Ayu daripada ke Eyang Wiro.
Bisik dalam mimpi yang menjawabnya.
Buka matamu lebar-lebar...
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...