Satu yang bisa benar-benar diingatnya. Tadi itu merupakan tidur paling lelap yang telah lama ia dambakan. Ia merasakan sungguh nyata, benteng batu megah yang mengepung jiwa, hancur lebur sudah. Ia merasa ringan. Namun, satu pula yang membuatnya bingung.
Jaya bangun dan menangis. Tangis deras seperti seorang anak kecil ditinggal meninggal orangtuanya. Tepat di depan matanya. Jaya tersedu-sedu. Ia bahkan lupa harus bersikap malu. Di dekatnya, Eyang Wiro menyilangkan tangan di dada dan mengangguk pelan dan berulang.
Bantal telah rembes oleh air mata Jaya.
"Biarkan berlalu. Jangan kau tampung lama-lama." Ucap Eyang Wiro lembut.
Matanya sampai panas dan hidungnya memerah serta basah oleh ingus yang ikut luruh bersama air mata. "Eyang, mengapa aku menangis? Ku tak tahu apa yang membuatku sesedih ini." Susah payah Jaya melontarkan tanya itu.
"Aku pun sama tak tahunya dengan kau, Jaya. Aku hanya membantumu mengingat. Mungkin kenangan yang samar-samar itu tak bisa segera menyata, tapi dampak perasaannya saja yang sampai duluan. Kau harus biarkan segalanya masuk. Terima semua."
Jaya meringkuk. Matanya belum berhenti menderaskan kesedihan dan duka mendalam. Entah tentang apa entah tentang siapa. Mungkin, menangis tentang dirinya sendiri. Tak tahulah. Yang pasti, derai tangis ini enggan usai segera.
"Eyang, apakah tadi saya memisah raga?" Jaya bertanya sekuat tenaga agar tidak bergetar.
"Yang tahu kau sendiri, Jaya. Aku hanya manusia biasa. Hal-hal tak kasat mata tentu tak bisa ditangkap dengan mata biasa."
Jaya berusaha mengingat namun gagal. Tidak ada secuilpun petunjuk yang mampu memberinya keterangan. Itu membuatnya makin sedih.
"Berapa lama saya tertidur Eyang?" Jaya mengecek pergelangan tangan kirinya, dikiranya ada jam tangan di sana namun tiada.
Eyang mengambil jam weker kecil yang berletak di meja. Mengerucutkan bibir menghitung. "Selamat Jaya. Inilah tidur terlamamu. Masa koma jangan ikut dihitung. Koma beda dengan tidur. Kau telah tidur selama lima jam."
Jaya mengusap air mata. Panas deras air mata duka mulai mereda. Ia usap dengan kaus bola. Duduk dan mengatur napas. Nyeri-nyeri masih menusuk kalbu. Rasa itu menjadi pertanyaan yang harus dijawabnya kelak. Di masa lampau, dosa apa yang pernah ia lakukan sampai harus menanggung sakit seperti ini.
"Kau tenangkan dirimu, Jaya. Aku buatkan kau teh pait." Eyang Wiro bangkit perlahan dan tampak susah payah. Jaya sampai takut lengan kursi yang didudukinya bisa patah.
Sembab mata membuatnya jadi bengkak. Terpantul bayangan dirinya di lemari buku kaca di belakang meja Eyang Wiro. Di meja itu, yang menarik perhatiannya, ada bingkai foto tengah diletakkan terbalik.
Seperti kata orang bilang. Kadang setelah menangis, hati jadi terasa ringan. Yah, itu cukup benar. Ada suntikan kelegaan yang memenuhi dada Jaya saat ini. Padahal baru didera luka hati. Sampai Jaya berpikir, kenangan pahit memang sakit, air mata adalah penawarnya. "Tapi kenangan pahit apa yang kualami dulu?" ia bergumam.
"Seperti yang kubilang Jaya. Pelan-pelan. Nanti semua itu akan terkuak dengan sendirinya. Kenangan-kenangan itu tak serta merta hilang. Ada residu yang bersembunyi di relung jiwa. Hanya butuh waktu dan pemicu. Ini minum, akan jauh lebih menenangkan dirimu."
"Terima kasih, Eyang." Jaya menerima secangkir teh pait yang mengepul itu. Ia sesap sedikit.
"Jalan kita masih panjang. Tujuan tidak bisa diraih secepat kita mengedipkan mata. Yang penting jangan terburu-buru. Yang perlu kau lakukan adalah bersantai. Kau perlu itu. Kau sudah lama terbebani."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
FantastiqueSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...