Bab 6 - Eyang Wiro

1.2K 96 13
                                    

Surat misterius itu ia abaikan. Diselipkan di antara kardus-kardus tak jelas gunanya. Kartu nama perusahaannya saja yang ia ambil untuk diamati. Astral Travel Agent. Dengan logo bintang sudut tujuh. Setiap sudut berujungkan bulatan kecil aneka warna. Tulisan Astral-nya digores dengan gaya tulis tangan miring, mengandung kesan ke-Jawa-an. Tak ada nomor telepon tertera di sana. "Aneh." Meski begitu, Jaya tahu persis di mana letak kantor Astral Travel Agent berada.

Di atas kulkas ia letakkan kartu nama tersebut. Kemudian ia membawa diri untuk merenung. Tangan sebagai bantal, memandang langit-langit yang mulai dipenuhi sawang.

Hampa oh hampa. Entah apa yang mesti dirasa. Pasrah oh pasrah. Tak tahu mau ke mana rimbanya.

Yang baik-baik telah tertepis. Terseret jauh meninggalkan. Bahkan ia usir. Sejumput rasa penyesalan melanda. Ia tengok ponsel, angka puluhan menandakan pesan belum terbaca. Tahu pasti itu berasal dari Amin.

Hampa oh hampa. Butuh waktu untuk menyendiri. Merangkai keping-keping yang berserakan. Mengumpulkan diri yang tercecer tak tertemukan. Mencari cara guna menambal lubang dalam jiwa.

Tarikan dan hembus napas panjang-panjang ia lakukan. Ditemani cangkir-cangkir kopi. Lama-lama mulai gelisah sebab jantung berirama kencang.

"Entahlah apa yang mau kulakukan. Bingung." Jaya bangkit dari tempat tidur dan menuju meja tempat lembar macam-macam tergeletak. Kebanyakan berupa selebaran properti dan kredit kendaraan yang ia peroleh sepulang bersholat jumat. Di tumpukan itu ia dapati sebuah map berlogokan universitas. Satu lembar jadwal kuliah kelas Sabtu. "Astaga.. aku kuliah?" Jaya garuk-garuk kepala. Lupa sama sekali. "Sastra Inggris? Pamulang?"

Ia menghenyak diri di sofa. Memeriksa lembar-lembar pemberitahuan di dalam map itu. Satu lembar mengenai tata pembayaran, satu lembar hasil tes masuk gelombang pertama, satu lembar bukti pembayaran dan pengambilan jaket almamater. Dan terakhir yang membuatnya tersentak, rupanya Sabtu minggu lalu ia seharusnya mengikuti kegiatan orientasi kampus. "Aku koma." Tertera pula tanggal 17 Oktober hari pertama perkuliahan dimulai. Yang artinya, "Sabtu besok?"

Sekarang hari Kamis. Kumis dan janggutnya semakin lebat. Daripada berdiam diri merasa hampa, ia mau sedikit mencukur sesemak wajah.

Cukuplah tampak lebih rapi daripada sebelumnya. Semburat tipis urat merah menera mata. Ia tak tidur lagi. Badannya tambah ceking. Tulang selangkanya menonjol, bisa muatlah sabun ditaruh di situ. Kulitnya kering dan seperti karet bila ditarik. Otot bisepnya kendur. "Ah, kecewa."

Perenungannya membuahkan hasil. Ya, ia memang makhluk kesepian. Tak banyak kenalan di sekitar sini. Ia bagai budak korporasi. Habis waktu bekerja, tempat tinggal hanya untuk tidur makan mandi. Tiada waktu bersosialisasi. Bahkan sejujurnya, memang malas. Mengetahui ia bakal kuliah, merupakan satu kesempatan untuk menata kehidupan yang telah kacau balau ini. Orang bilang kuliah mengasah pola pikir dan memperluas koneksi, semoga itu benar. Ia telah hilang pekerjaan, hilang teman dekat, hilang jati diri. Uang pesangon cukuplah untuk biaya kuliah satu atau dua semester dan biaya hidup beberapa bulan ke depan. Sambil berjalan, ia akan mencari kerja baru. Semoga lancar... aamiin. Jaya memasang senyuman paling tampan yang ia bisa tampilkan.

Sepucuk surat terselip di bawah pintu pada hari berikutnya. Masih dari Astral Travel Agent.

Pintu kami masih terbuka untukmu Jaya. Bergabunglah dan kau akan memiliki jawaban terhadap pertanyaan yang bahkan tak pernah kau pikir kau punyai.

Kami bisa menyembuhkanmu.

Menyembuhkan?

Tawaran itu berenang-renang menggoda. Jaya ingin merasa normal kembali. Benar. Yang ia derita ini adalah kutukan, penyakit, wabah. Jaya mengelus jenggot tipis yang telah dicukur kemarin hari. Mempertimbangkan. "Astral Travel Agent ya. Kedengarannya kok ambigu sekali."

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang