Bab 14 - Jiwa Jiwa Malang

959 66 5
                                    

Satu pohon kehidupan itu sudah hancur. Karena ulah pihak tak bertanggung jawab yang senantiasa menghendaki keterpurukan dunia. Ketakseimbangan antar alam. Yang sempat mengguncang dahsyat alam Watukayu.

Bertiga, para pendekar abu-abu mengupayakan pemulihan salah satu saka Watukayu tersebut. Melalui petunjuk yang diberi oleh Nini Dhanyang Smarabumi, mereka menambal bekas patahan batang pohon kehidupan. Menggunakan kayu-kayu dan batu magis alam Watukayu mereka berusaha menutup kebocoran alam.

"Kalian mesti berhati-hati. Pihak-pihak jahat mungkin mencium kebocoran satu itu. Mereka akan menyusup ke dalam alam permai kita. Kalian pemegang kunci. Tapi ketahuilah, banyak pihak berilmu tinggi yang tahu rahasia alam kita dan senantiasa mencari kunci pembuka pintu yang lain. Alam kita ini penuh misteri, aku sendiri pun terbatas pengetahuannya." Demikian Nini Dhanyang menasehati.

Mereka sudah berupaya. Tambalan batang pohon kehidupan itu telah mencapai pintu langit. Setidaknya tidak terlampau besar kebocorannya. Namun tak dipungkiri, mereka masih was-was.

Melalui penafsiran, pelacakan, penerawangan dan kunjungan ke nyi sepuh di padepokan Raung Jagad. Telah diketahui bahwa penyebab tumbangnya pohon kehidupan satu itu adalah anak panah dari busur panah melegenda di tanah atas sana. Sebuah panah sakti penguasa negeri di masa lampau.

"Panah itu telah jatuh di tangan yang salah." Ucap Darto, si ketua Pendekar Abu-abu.

"Mungkinkah itu Pendekar Hitam?" duga Eko.

"Tapi dia sudah mampus dibantai Pendekar Putih waktu itu." Sahut Takim.

"Nyi sepuh bungkam ketika aku bertanya hal itu. Tapi kurasa benar adanya. Ada kejadian tragis di Raung Jagad belum lama ini. Menyebabkan tewasnya beberapa pendekar pancawarna. Kuduga hal itu berkaitan dengan desas-desus bangkitnya Pendekar Hitam." Ujar Darto.

"Perasaanku menduga demikian. Gonjang-ganjing ini siapa lagi kalau bukan dia penyebabnya? Banyak cara dalam dunia hitam. Apalagi tentang menyusup ke alam ini." Eko mengambil batu berbentuk segienam hitam legam berkilau.

"Bisa jadi pihak lain. Kita harus terbuka pada banyak kemungkinan. Dunia ini banyak cabangnya, dan tugas kita untuk memeriksa satu per satu dengan hati-hati. Jangan sampai kita membuka satu pintu, dan ternyata di balik sana sudah menunggu bala kekuatan jahat untuk menerobos. Kita bertiga saja tidak cukup kuat."

"Takim benar." Darto mengamini. "Kita bertiga saja memang tidak cukup. Kukhawatirkan bilamana memang Pendekar Hitam bangkit untuk kesekian kalinya. Kali ini dia lebih kuat. Karena telah lama kita tak mendengar kabarnya. Mungkin ia telah menghimpun kekuatan. Menghimpun banyak darah tak berdosa."

"Jadi apa langkah kita? Nyai Laksmi sudah bersedia membantu. Bagaimana dengan padepokan Raung Jagad?" tanya Eko.

"Belum ada itikad jelas dari nyi sepuh. Mereka masih berkabung terhadap tewasnya pendekar-pendekar pancawarna. Pihak-pihak lain pun sulit diraih. Kukhawatirkan kita sendirian saat ini."

"Yang terpenting kita tidak berhenti berupaya. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu. Nah, sekarang mari kita kembali menangkapi jiwa-jiwa tersesat ini." Takim mengeluarkan dari balik jubah pendekarnya, sebuah tabung kaca berikat tambang.

"Benar. Jangan sampai jiwa-jiwa malang itu justru ditangkapi pihak jahat." Eko pun mengeluarkan satu tabung kacanya.

"Beberapa sudah ditangkap oleh pihak jahat." Darto memberitahu. Ia mengeluarkan cambuk cahaya yang tadinya adalah ikat pinggang. "Kita berpacu dengan waktu."

"Oh, jiwa-jiwa malang." Eko melantun.

Gerakan mereka ringan melompati pohon-pohon tinggi. Menyusuri tempat-tempat gelap. Mata batin mereka aktif sempurna. Demi melacak jiwa-jiwa yang tersesat. Jiwa-jiwa manusia alam atas yang tak seharusnya berada di alam Watukayu.

Jiwa-jiwa itu mewujud kepulan awan tipis yang kadang muncul kadang hilang. Keberadaannya bisa diketahui melalui tanda daun berguguran. Daun yang berbeda dari daun-daun yang ada di alam Watukayu. Daun dengan bentuk segilima.

Kemunculan mereka kadang bergerombol kadang tunggal. Lebih sulit ketika menghadapi yang bergerombol. Karena ketika mereka mendapati hendak ditangkap, mereka pun segera pudar bersamaan, lebih cepat daripada pudarnya jiwa tunggal. Pun pula satu tabung hanya muat satu jiwa saja. Karena itu, Eko telah menyiasati dengan senantiasa membawa karung berisikan tabung-tabung kaca bermantra.

Penangkapan jiwa-jiwa itu pun harus dilakukan dengan cermat. Secara sembunyi-sembunyi supaya si jiwa tidak langsung kabur. Jiwa-jiwa tersesat yang demikian itu, cenderung menuju pihak jahat. Karena seperti diketahui bersama, rayuan pihak jahat lebih manis.

"Itu dia. Aku mendapati satu." Takim berhenti dan memberitahu dua kawannya melalui sambungan benak. "Bersiap." Takim membuka tabungnya.

Eko melonggarkan karung penyimpan tangkapan. Darto mengambil ancang-ancang pecutan cambuk.

Satu jiwa itu tengah mondar-mandir di antara satu pohon besar yang batangnya menembus langit. Seperti menanti terbukanya sebuah pintu. Jiwa itu mewujud sosok manusia asap warna ungu. Darto memberi aba-aba supaya lebih tak terdeteksi. Gerakan mereka ringankan dan samarkan.

"Ia tak memiliki tali jiwa." Eko memberitahu.

"Itu artinya raga di alam atas telah mati." Simpul Takim.

Mereka lompat ke pohon-pohon terdekat. Darto bergerak dahulu. Ia loncat dari belakang si jiwa tersesat. Pecut panjangnya menghentak dan langsung mengikat tubuh asap ungu si jiwa. Si jiwa tersesat itu memberontak sampai Darto tersentak dari pijakannya. Segera Takim muncul dari dedaunan pohon, membuka tutup tabung kaca tepat di depan si jiwa.

Jiwa wujud asap ungu itu tak berdaya paruh demi paruh wujudnya terhisap masuk ke dalam tabung. Sampai tak bersisa lagi wujud jiwa itu Darto segera mengendurkan ikatan cambuknya dan Takim menyumpal tabung kaca itu dengan tutup kayu kemudian diikat dengan tali tambang sekuat mungkin sembari Eko melancarkan mantra-mantra pengunci. Tabung itu pun bergabung dengan tabung-tabung jiwa yang lain di karung tangkapan.

Telah terkumpul belasan jiwa-jiwa malang di karung tangkapan mereka. Segera mereka kembali ke padepokan Nyai Laksmi. Menyerahkan tabung-tabung itu guna diberi perlindungan.

"Jiwa-jiwa malang." Kata Nyai sembari melayangkan tangan di atas tabung-tabung itu. Ketiga pendekar abu-abu duduk bersimpuh di hadapannya.

"Mereka berasal dari dunia atas, Nyai." Kata Darto.

"Betul dugaanmu. Dan malang sekali jiwa mereka tak akan bisa kembali ke raga semula. Akibat tali jiwa mereka diputus secara paksa. Seseorang telah bermain-main dengan perjalanan sukma. Dan seseorang secara tak bertanggung jawab membunuh raga yang kosong di atas sana. Benar-benar tindakan yang keji." Nyai Laksmi menggelengkan kepala prihatin.

"Bisakah Nyai terawang siapa pelaku keji itu?" tanya Eko.

Nyai Laksmi tampak sedih. "Sayang sekali. Hal tersebut sudah kulakukan tapi tampaknya sulit menembus benteng tabir terawangannya. Pihak itu dibekingi oleh siluman-siluman terkuat. Siluman yang menyerang Gandarupa Hijau."

Sembari masih melayangkan tangan di atas tabung-tabung, Nyai Laksmi membakar lintingan daun dan menghisapnya dalam-dalam. Hembusan asapnya berwarna kehijauan. Mata Nyai berubah putih total.

Tak diduga oleh ketiga pendekar abu-abu, Nyai Laksmi terjungkal ke belakang. Seperti ada tapak tak kasat mata yang mendorongnya. Sigap mereka menolong Nyai.

Darto mengangkat kepala Nyai dan merebahkannya di paha. "Ada apa gerangan Nyai?" tanyanya khawatir.

Ada tetes darah mengintip dari lubang hidung Nyai Laksmi. Eko dan Takim saling tukar pandang ngeri.

"Si pembunuh keji raga kosong itu ada di alam kita."

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang