Semua aktifitas penghuni alam Watukayu tiba-tiba terhenti. Ada semacam hawa yang memungkinkan segalanya terasa terhenti. Seolah tak diukur lagi oleh waktu. Hening. Semua mata tertuju pada titik nol. Di mana langit sedang menganga menelan angin puyuh dahsyat yang benderang oleh sinar-sinar dari mandala.
Alam Watukayu bergejolak untuk kesekian kalinya. Ada firasat di antara para pendekar dan Gandarupa golongan baik, bahwa inilah akhir. Akal bulus jahat Raja Siluman akan tercerabut total. Hal yang jarang terjadi pun terjadi, para saudara halus yang tak tampak oleh mata telanjang, menampakkan diri. Kemudian mereka segera menyusun barisan dan memunculkan dari udara kosong alat-alat gamelan. Mereka bersiap untuk melantunkan tembang-tembang semesta tujuh hari tujuh malam tanpa henti.
Hempasan kemudian terjadi. Membuat semua pijakan kaki mencondong akibat energi yang berasal dari titik nol. Pohon-pohon berbatang segi enam condong bahkan sampai menyentuh tanah. Untuk kemudian kembali lagi ke posisi semula dalam gerakan yang halus. Dari beberapa pohon yang rontok daunnya, sejurus kemudian muncul dengan rimbunan daun.
Hempasan yang menggulung kembali ke titik nol tempat mandala Astakona diformasikan, menyeret segala runtuhan padepokan Nyai Laksmi untuk memperbaiki diri sendiri. Mayat-mayat pendekar dan gandarupa yang tumbang, terangkat jiwanya dan bercahaya, membawa kayu-kayu padepokan dan menaruh kembali pada tempat semula, untuk kemudian ikut terseret dan moksa bersama Jaka Wiranggaleng. Penghuni alam Watukayu akan mengenang mereka semua sebagai pahlawan.
Ini adalah satu dari peristiwa terdahsyat yang pernah alam Watukayu saksikan. Macam peristiwa yang pada intinya adalah perseteruan antara hitam dan putih, memang sudah sering terjadi, kebanyakan menyerang padepokan-padepokan yang ada. Satu-satu saling mengungkapkan rahasia alam Watukayu. Banyak pusaka terungkap dan ada peran yang bermain. Penghuni alam Watukayu kemudian menebak-nebak apalagi yang akan menjelang. Mereka semua menyadari, alam Watukayu tidaklah begitu berbeda dengan dunia atas, alam manusia. Alam ini tidak akan tenteram terus-terusan. Akan selalu ada gejolak yang menunggu di balik batu. Menggempar kemudian teratasi.
"Sudah usai. Keduanya moksa." Kata Nyi Sepuh kepada Gandarupa Kuning.
"Tiada lagi Jaka Wiranggaleng. Tiada lagi Pendekar Hitam." Balasnya. Dalam hati merasa sedih sebab Jaka telah pergi, untuk selamanya. Yang masih mewujud adalah kenangannya.
"Era baru akan menyusul." Nyi Sepuh memejamkan mata dan mengangguk pelan. "Aku bisa merasakannya. Akhir dari sesuatu adalah permulaan dari sesuatu yang lain lagi."
"Lingkaran kejadian yang tak pernah putus." Gandarupa Kuning ikut mengangguk.
"Untuk itu kita harus selalu memantabkan pijakan kaki kita. Kita adalah penentu bagi diri sendiri. Selama restu bumi dan langit kita mohonkan, petunjuk akan selalu kita dapat." Nyi Sepuh memindai dada Nyai Laksmi yang berangsur membaik. Sebelumnya, dada itu terdapat tonjolan urat yang menghitam akibat racun hempas maut.
"Restu bumi membangunkan jiwa, restu bumi membasuh raga." Gandarupa Kuning atau Desi terkenang akan pertemuan pertamanya dengan Jaya, dalam misi pertamanya di dunia manusia untuk mengorek jati diri lelaki itu. "Restu bumi leburkan hati, sucikan dari debu dunia."
Nyi Sepuh tersenyum mendengar itu. Ia mengangguk sepakat.
Kondisi luka Nyai Laksmi yang berangsur sembuh, membuatnya membuka mata sadarkan diri. "Kanjeng Nyai Guruku." Ucapnya lirih serak. Gandarupa Kuning segera membantu Nyai Laksmi mendudukkan badan.
"Syukurlah kau sudah siuman. Lukamu cukup parah." Tutur lembut Nyi Sepuh.
"Aku harus pergi ke padepokanku."
"Tunggulah." Nyi Sepuh mencegah muridnya. "Kau baru pulih. Sebaiknya kita menunggu kedatangan Nyai Sekar Jati, Pendekar Pancawarna dan Pendekar Abu-abu. Jika kau hendak kembali ke padepokanmu, kami akan ikut."
"Sudahkah usai semua?"
Nyi Sepuh mengangguk. "Jaka Wiranggaleng mengorbankan raga jiwanya, memoksakan diri bersama pendekar hitam."
Mendengar itu Nyai Laksmi membaringkan diri kembali, lalu menerawang ke langit-langit bilik penyembuhan Padepokan Raung Jagad.
"Lihatlah." Nyi Sepuh menyodorkan kuku ibu jarinya kepada muridnya. "Padepokanmu sudah dibangun ulang. Para pendekar dan Gandarupa baik asuhanmu ikut moksa."
"Aku butuh tongkatku." Nyai Laksmi bangkit kembali.
"Tenang, akan kuambilkan." Nyi Sepuh menggerakkan tangan seperti meraup sesuatu dari udara. Sejurus kemudian di depan mata Gandarupa Kuning, udara seperti membelah dan memunculkan tongkat jalan sakti milik Nyai Laksmi. Sesegera itu Nyai Laksmi menyambar tongkatnya. Ia memejamkan mata. Nyi Sepuh merasakan ada yang tidak beres sedang dirisaukan oleh muridnya.
"Apa yang kau risaukan, Laksmi?"
Nyai Laksmi tampak tenggelam oleh pejaman mata yang berfokus pada entah apa. Sesuatu yang merisaukan pun turut dirasakan oleh Gandarupa Kuning. Kentara sekali auranya di udara.
Saat mata Nyai Laksmi terbuka kembali dari penulusuran singkat yang merisaukan, Nyai Sekar Jati beserta Pendekar Pancawarna dan Pendekar Abu-abu datang, melangkah memasuki pintu bilik penyembuhan.
Nyai Sekar Jati menghadap dahulu kepada Nyi Sepuh, menekuk lutut dan mengangkat tangan yang menyatu ke atas kepala. Raut wajahnya terbaca olehnya, sesuatu yang sama merisaukannya.
Nyai Sekar Jati dan Nyai Laksmi saling pandang. Keduanya mengangguk.
Delapan pendekar yang tidak tahu menahu apa yang sedang dirisaukan kedua nyai tersebut menyimak saja. Darto mendekati Gandarupa Kuning dan menyentuh tangannya, memberi bela sungkawa.
"Apa yang kalian dapati?" desak Nyi Sepuh.
"Kami tidak merasakan kehadiran mustika dimensi ketika sang Pengelana Moksa." Ujar Nyai Sekar Jati.
Nyi Sepuh tersentak sedetik. Buru-buru ia memejamkan mata dan menerawang udara. Membawa esensi jiwanya memutar ulang waktu selagi mandala Astakona tengah berformasi. Ia merasakan kedua muridnya berkata benar. Pertama ia merasakan kehadiran mustika dimensi itu, namun kemudian ia kehilangan jejak. "Mustika itu sudah tidak berada di sini sebelum proses moksa terjadi."
"Mustika dimensi itu pindah ke jantung orang lain." Nyai Laksmi menyimpulkan.
"Jadi, apa artinya ini?" Darto angkat bicara.
"Itu artinya, selama mustika dimensi itu masih utuh wujudnya. Tidak ikut moksa, hilang bentuk dan keberadaan. Artinya, pintu dimensi-dimensi masih rentan disusupi lagi." Ujar Gandarupa Desi.
Kedua Nyai dan Nyi Sepuh mengangguk membenarkan.
Gandarupa Kuning atau Desi tampak mengolah pikir. Kakinya berguncang-guncang untuk mengaitkan segala petunjuk yang ia rasa ia dapati.
Lalu ia berkata, "Rasanya aku tahu di mana mustika itu berada."
******
Telinga pemuda itu disumpal dengan satu lagu yang diputarnya berulang-ulang semenjak keberangkatan. Kepalanya mengangguk-angguk ketika lantunan ritme menghentak. Bibirnya melantunkan secara sunyi bait-bait dari lagu tersebut. Entah mengapa lagu tersebut terus-terusan mengiang di kepala selama akhir-akhir hari.
Ketika lagu itu berhenti, ia akan membuka kunci ponsel lalu menekan kembali tombol putar. Restoe Boemi adalah judul lagu tersebut. Baginya, lagu itu menenangkan dan memberi semacam petunjuk untuk langkahnya menuju. Akhir-akhir ini ada yang sangat ganjil menerjang hidupnya yang dirasa biasa-biasa saja. Dia tidak begitu ingat persis. Namun apa yang disampaikan teman dekatnya membuatnya mengernyit. Hal-hal yang tak masuk akal.
Lagu itu mengantarkan dirinya pada tempat yang saat ini ia tuju.
Kampung halaman. Kepada ibu iaberpulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...