Bab 16 - Pengelana Dimensi

793 65 5
                                    

Di atas dipan rotan Nyai Laksmi terbaring lemah. Matanya masih terbuka putih kosong. Badan rentanya gemetar. Tak pernah mereka menyaksikan Nyai sakti tersohor dan dihormati di Watukayu jatuh oleh pukulan tapak tak tampak.

Ketiganya tak beranjak menjagai Nyai. Mengipasi dan memberi wangi-wangian rempah serta kembang. "Bagaimana mungkin?" Takim tak percaya.

"Di atas langit masih ada langit." Kata Eko.

"Kita kira Nyai Laksmi lebih tinggi ilmunya dari siapa pun di sini. Tapi kenyataan berkata lain." Darto berkata muram.

"Kekuatan jahat tengah terbangunkan. Lagi dan lagi." Takim gusar. "Tapi apakah tujuannya masih tetap sama, membangunkan Raja Siluman?"

"Rencana keji itu akan tetap abadi. Itulah fakta menyedihkannya. Selagi masih ada kebaikan dan cahaya di dunia, kejahatan dan kegelapan masih akan mengintai." Darto meniupkan serbuk ke wajah Nyai. Serbuk untuk memulihkan jiwa raga.

"Dunia tak pernah aman." Eko terdengar pesimis.

"Maka kita harus turut ikut campur supaya dunia menjadi aman. Setidaknya kita berupaya." Darto berusaha menekankan tugas kekal mereka.

Takim meletakkan kipas saat melihat pergerakan tiba-tiba Nyai Laksmi. Wanita tua itu mengerang. Matanya kembali pulih normal. Takim menyodorkan gelas bambu berisikan racikan teh hangat. "Minum dulu Nyai?"

Nyai Laksmi bangkit dibantu Eko dan Darto. Ia terbatuk-batuk serak. Ditenggak lahap olehnya racikan teh Takim seolah tak mendapati kesempatan minum esok hari. "Terima kasih."

"Nyai, siapa yang menyerang nyai?" tanya Darto.

Nyai Laksmi tak kunjung menjawab. Ia duduk sembari memegangi lutut kurusnya, mengambil napas dalam-dalam. Tampak lagi merenung. Lalu mengunyah gumpalan daun secara santai. Ketiganya harus menunggu. Jangan memaksa Nyai untuk segera menjawab.

Dari gerak gerik Nyai, ketiganya tahu mereka perlu duduk bersila lagi di depannya. Untuk menyimak apa pun petuah terlontar.

Setelah puas mengunyah gumpalan daun, Nyai Laksmi melinting tembakau dan menyulutnya dengan jentikan jari yang mengeluarkan api. Menghisap penuh hikmat, menggoyang semu badan ke kiri dan kanan. Setelah habis barulah ia tampak siap berujar.

"Biar kuceritakan kepada kalian tentang legenda di alam ini."

Ketiganya memasang telinga dan menyetel benak untuk bertasfir.

"Alkisah dahulu hiduplah sepasang pengelana. Keduanya tercipta tak pernah terpisahkan. Mereka adalah dua yang menjadi satu. Atau satu yang mewujud dua. Mereka adalah dua sisi keping koin.

"Dua sejoli yang memutuskan untuk menjelajahi alam yang tanpa batas. Mengarungi dunia untuk mengorek segala pengetahuan. Tapi ketahuilah dan camkan buat kalian, hati-hati dengan pengetahuan yang sedang kau korek. Perlulah bagi kita untuk senantiasa bersikap netral.

"Sebabnya beberapa pengetahuan menuntut segenap perhatianmu. Menjadikanmu budak untuk semakin dalam menggalinya. Itulah yang dahulu dialami oleh dua sejoli ini.

"Mereka berusaha memecahkan teka-teki ruang dan waktu. Apakah mereka berhasil?"

******

"Wah, kau ya, mentang-mentang sudah punya cewek. Tak mau lagi kau kongko-kongko denganku." Maki Amin di sambungan telepon.

"Ah kau ini tak senang liat temanmu lagi kasmaran? Biar dong aku nikmati asmara ini." Jaya menjawab sambil tertawa-tawa. Tawa bahagia insan yang mencinta.

"Aku ke rumah kau ya?" desak Amin.

Jaya tengah menjawab telepon di dapur. "Jangan dulu. Dia lagi di tempatku." Jaya menjawab bisik dan meringis.

Dari seberang sana Amin terbahak-bahak. "Wah wah, asyik kau ya. Oke oke aku tak akan ganggu kau. Selamat menikmati." Amin tertawa usil.

Jaya tersenyum-senyum tolol sendiri di dapur sembari mengentaskan helai-helai pasta. Jantungnya tak mau berhenti berdebar. Kekasihnya tengah berada satu atap di kontrakan! Sedang meluangkan akhir pekan untuk bercengkerama dengan si pecinta. Lebih-lebih menagih janji Jaya yang katanya mau menghidangkan pasta terenak sejagad.

"Jadi ini pasta enak sejagad?" Desi menerima sepiring cantik pasta dengan saus bolognese.

"Ya coba dulu." Jaya menggaruk belakang kepala malu. Mereka menikmati hidangan bikinan Jaya sembari bertukar suapan. Setoreh noda saus tertera di pipi Desi, Jaya mengusapnya lembut sampai bersih, untuk kemudian dijilatinya sendiri jari pengusap itu. Desi tertawa riang melihat tingkah Jaya. "Bagaimana, enak kan?"

"Iya deh enak. Daripada gak dibikinin lagi nanti." Desi tersenyum centil.

"Ah, jangan begitu. Nanti aku buatin masakan-masakan spesial buat kamu. Sespesial kamu di hatiku."

"Gombal terus kamu ah."

Di sofa terbagus yang dibeli Jaya menggunakan upah dari Eyang Wiro, mereka duduk berdempetan. Sesekali mencuri kecup dan lalu membaringkan kepala bergantian di paha masing-masing. Jaya baru sadar ia belum pernah berbagi cerita tentang kegiatan ia yang sesungguhnya di Astral Travel Agent. Tapi ada nasehat dari dalam diri untuk tak boleh membeberkannya. Jadi ia hanya membincangkan yang menyerempet sedikit.

"Desi sayangku. Tahukah kamu tentang Astral?"

"Astral?" Desi mengangkat kepala dari paha Jaya. Tertarik dengan topik. "Sepertinya aku pernah dengar."

"Itu lho tentang perjalanan sukma atau roh. Keluar dari tubuh terus jalan-jalan entah ke mana."

"Oooh." Desi membulatkan bibir. "Ohya, aku baru ingat. Aku punya teman yang juga lagi menulis seputaran Astral. Pernah dia bagi ke aku ceritanya sedikit."

"Ohya?" ada sesuatu yang menggelitik hati Jaya. Sebuah ketakrelaan yang tak ia pahami. Ia menduga teman yang disebut ini adalah seorang laki-laki.

"Iya. Kamu mau dengar ceritanya? Bagus loh."

"Boleh."

Desi ganti duduk dan Jaya yang membaringkan kepala di pahanya. Sembari mengelus rambut Jaya, ia mulai bercerita. "Hiduplah seorang lelaki yang mampu menembus dimensi. Menjelajahi dunia-dunia yang belum terjamah tangan manusia. Untuk menjelajahi dimensi itu ia harus berwujud astral. Bentuk halus dari raganya. Ilmunya itu ia dapatkan melalui pengelanaan panjang bersama kekasihnya.

"Mereka mencinta sampai akhirnya berpisah karena perbedaan sudut pandang. Setelah menguasai ilmu perjalanan antar dimensi, si perempuan ini jadi terobsesi untuk terus menggali dunia-dunia lain. Sementara yang lelaki cukup tahu bagaimana membuka pintu dunia. Si lelaki tak mau mengusik alam lain karena bukan tempatnya untuk berlaku begitu.

"Si perempuan tak setuju. Ia mempelajari ilmu bertahan hidup di alam-alam lain itu. Mereka berselisih paham. Selisih terbesar yang pernah mereka alami sepanjang menjalin kasih. Lucu ya, bisa begitu, padahal mereka sudah seperti satu tubuh. Tapi mau bagaimana, kalau satu tubuh tapi pikirannya dua dan tak sejalan. Perpisahan menjadi jawabannya."

"Lalu bagaimana setelah mereka berpisah?"

"Ya, yang lelaki tetap pada pendiriannya. Ia malah berusaha mengunci pintu-pintu alam lain. Pintu-pintu yang belum dijamah oleh si perempuan. Si perempuan marah dibuatnya. Ia kemudian membudaki kekuatan-kekuatan jahat untuk memusnahkan si lelaki. Gila ya, padahal dahulu mereka pernah mencinta."

Jaya akui tertarik dengan kisah ini. Sampai ia berpikiran untuk bertemu dengan si penulis cerita. "Si perempuan berarti jadi jahat ya?"

"Iya. Jahat sekali dia. Karena obsesinya terhadap rahasia semesta, ia tak sadar telah diperbudak kekuatan jahat itu sendiri. Ia tak sadar telah melayani kekuatan jahat. Pada akhirnya si perempuan membunuh si lelaki."

"Loh loh, kok dibunuh? Yah, tamat riwayat si Pengelana Dimensi."

"Iya, karena si lelaki akan menghalangi langkah si perempuan. Makanya harus dilenyapkan."

"Ambisi memang kadang lebih kuat daripada cinta ya."

"Iya sayang. Kita jangan begitu ya."

"Untung kita cuma manusia biasa. Tidak neko-neko."

******

"Si perempuan itulah yang menyerangku." Kata Nyai Laksmi mengakhiri ceritanya.

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang