Bunyi gamelan berlantun di kawasan suatu pondokan. Lantunannya syahdu dan membuat badan hendak meliuk-liuk dan menari. Bunyi gongnya menggetarkan jiwa, seperti memberi tabuhan kesadaran terhadap sesuatu hal. Sebuah yang abstrak tersembunyi di balik kalbu. Permainan gamelan itu pun dibawakan oleh mereka-mereka yang abstrak, tak terlihat oleh mata biasa. Mereka adalah para saudara halus.
Pondokan yang terdiri dari pendopo luas di tengah-tengah berlantaikan kayu hitam mengkilap dan beratap serabut kelapa, pendopo yang cukup memuat ratusan orang maupun makhluk lain. Lalu berjajar di kiri dan kanan membentuk huruf U siku, pondokan kecil kamar-kamar singgah bagi pelancong, abdi, dan penuntut ilmu dari pondokan maupun padepokan lain.
Penghuni pondokan diwajibkan menampakkan diri di pendopo besar bilamana gamelan tengah dimainkan. Seorang perempuan tua mengenakan gaun dan selendang panjang berwarna hijau toska dengan rambut digelung duduk hikmat di panggung kecil paling depan pendopo. Matanya terpejam khusyuk mendengarkan. Di hadapannya terdapat meja kecil di mana senampan berisi mangkuk-mangkuk tanah berletak. Kelopak ragam bunga mengisi mangkuk-mangkuk tersebut. Aromanya menguar dan dihirup oleh si perempuan tua. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan kiri seperti sedang bertasbih.
Pendopo dipenuhi oleh orang-orang berjubah kain putih, berikat kepala, bersorban, bertelanjang dada dan bersabuk warna, hewan-hewan jejadian, para makhluk berambut dan berkuku panjang, sebagian besar dari mereka adalah pengabdi abadi pondokan ini. Mereka adalah yang disebut Gandarupa. Para peralih rupa dan wujud.
Semua duduk bersila dan menganggukkan kepala pelan berulang. Menyesuaikan irama gamelan yang telah berwaktu-waktu berlantun. Ini adalah bentuk penghormatan kepada para saudara halus baik yang menghubungkan antara alam halus dengan alam fana alias alam manusia. Mereka para pengikut ajaran si perempuan tua diwajibkan menyabarkan diri sampai gamelan terakhir dimainkan. Bisa berhari-hari bermalam-malam.
Siapakah gerangan si perempuan tua yang begitu dihormati ini?
Beliau dikenal dengan nama Nyai Laksmi. Sang pengasuh bijak dan tegas pondok berkumpulnya Gandarupa ini. Salah satu yang masih kukuh memegang teguh aliran putih, aliran kebajikan. Berilham kepada kisah hidup para Pendekar Putih yang senantiasa bertarung tanpa henti melawan aliran hitam Pendekar Hitam.
Siapapun tamu dari padepokan lain yang hendak berkunjung, baik itu hendak memberi kabar, meminta petuah, bantuan, atau hal yang lain diharuskan berdiri menunggu di gerbang depan pondok yang jaraknya cukup jauh untuk mencapai pendopo besar. Karena halaman pondokan itu adalah tempat para saudara halus tengah melantunkan gamelan. Tiada yang pasti tahu ada berapa saudara halus yang tengah bermain, konon katanya ada ribuan, Nyai Laksmi-lah yang mengetahui, beliau mampu melihat tembus alam.
Tiga pendekar abu-abu penjaga kunci alam Watukayu setia menanti dan menghayati lantunan gamelan membahana di depan gerbang bambu-bambu menancap. Tak boleh ada suara, mereka tahu dengan pasti. Tangan di balik punggung mereka berdiri. Satu berbadan besar tinggi, satu kurus kekar tinggi sedang, satu lagi perawakan ideal berotot sewajarnya.
Dahulunya mereka bukanlah berasal dari alam ini. Mereka bertiga pernah bersanding dengan Pendekar Putih melawan Pendekar Hitam yang hendak membebaskan Raja Siluman jahat dari perut bumi. Karena pengorbanan mereka yang tulus dan senjata terakhir yang mengakibatkan mereka tak mampu lagi kembali ke alam asal, mereka dinobatkan menjadi penjaga kunci alam Watukayu yang barulah seumur jagung ini. Meski begitu, kehidupan yang berlangsung dalam alam ini seolah telah berlangsung ratusan tahun lamanya. Waktu adalah ukuran yang membingungkan memang.
Sebagai pendekar, berdiri sepanjang berhari-hari dan bermalam-malam adalah hal yang sepele. Telah berlatih mereka sehingga sudah biasa. Segala hal yang perlu mereka ketahui mengenai alam Watukayu telah dibekali oleh sang entitas yang dimuliakan, ialah sang Nini Dhanyang Smarabumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...