Ruangan itu porak poranda. Meja terbalik, kursi goyang patah kakinya, kaca pelapis meja retak, buku-buku berserakan, dan bingkai potret pecah kacanya. Tembok ruangan itu terdapat retakan dan cipratan darah. Cekungan bekas hantaman bogem, menyangkut serpihan batu cincin.
Eyang Wiro terengah-engah. Buku jarinya berdarah-darah. Ia empaskan segala murkanya pada ruangan itu. Persis seperti waktu kehilangan putrinya bertahun lalu.
"Lepas lagi dari genggaman."
Seorang berdiri di mulut pintu, bersedekap.
Eyang Wiro menoleh dan menatap nyalang. "Kau gagal."
"Kita berdua gagal." Sahutnya pelan.
"Dia kunci kita."
"Dan dia sudah membukanya, masuk ke dunia itu."
"Mungkin sudah bertemu putriku." Eyang Wiro mengangkat bingkai retak dan pecahan kaca jatuh menyerpih. Lembar potretnya tergores. Potret wajah seorang putri bermuka bulat dan berdagu belah.
"Sepertinya demikian. Upaya main hakim sendiri, tengah dilakukannya kembali." Yang berdiri di ambang pintu, wujudnya beralih rupa terus menerus.
"Sudah dilakukan. Pelanggan kita sudah banyak yang hilang."
"Tak boleh dibiarkan."
"Kirim anak buahmu untuk membereskan. Seperti yang sudah-sudah."
"Cincinmu hancur dan kau tahu apa artinya itu. Pengaruhmu kepada kami berkurang." Si sosok pengalih tubuh itu menyeringai. "Bayarannya, sudah siap?"
"Akan kuatur. Di bawah bulan purnama. Darah segar untuk kalian." Eyang Wiro memungut pecahan batu cincin hitam legam miliknya di karpet bulu.
Sosok yang berubah-ubah itu akhirnya hanya beralih menjadi dua rupa saja. Sesosok dengan kulit loreng seperti macan dan sesosok berpakaian rapih kemeja dan celana jins. Dia mewujud Jumari. "Aku punya kabar."
"Katakan saja."
"Ini ada kaitannya dengan pemuda berpakaian hitam membawa panah, sehari sebelum putrimu dahulu menghilang. Dia dalangnya."
"Sudah kuduga demikian juga. Pemuda sialan itu."
"Pendekar hitam sebutannya."
"Pendekar hitam mencari dua bilah kunci." Eyang Wiro tahu mengenai legenda Pendekar Hitam itu. Pesuruh setia yang konon sudah dilumpuhkan kini bangkit kembali. "Abdi setia raja kalian." Eyang Wiro menunjuk tajam Jumari. "Para siluman!"
"Keduanya sudah masuk perangkap. Putrimu dan si pemuda Jaya itu. Tiada raja, ratu pun bertindak."
Sekali lagi Eyang Wiro menghantamkan bogem montoknya ke tembok, darah memercik, dan si Jumari menjilati tepi bibirnya.
"Bagaimana supaya mendapatkan mereka kembali?" tanya Eyang Wiro.
"Putrimu itu mencari korban di dunia ini, dia pasti memanfaatkan pemuda Jaya keluar masuk antar dunia. Pasang mata harus mengawasi jalur perak. Kemunculan mereka pasti tidak menentu. Putrimu itu tahu cara mengelabui."
"Laksanakan. Pasang mata kalian." Dengan geram Eyang Wiro memerintah.
"Kau tahu kebutuhan kami. Daging bayi segar." Kata Jumari.
"Ambil saja."
Malam itu juga, tengah malam buta, istri Slamet menjerit histeris membangunkan seluruh komplek perumahan. Bayinya tergenang darah di atas kasur buai, tanpa kepala tanpa jantung.
******
Dalam kepalanya tengah ada pertarungan. Adegan-adegan cekcok dengan Sukma Ayu berputar mengulang di dalam benak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTRAL TRAVEL AGENT
ParanormalSemenjak peristiwa yang hampir saja meregangkan nyawanya, Jaya tak mau lagi memejamkan mata. Karena bisa saja ia benar benar mati. Peristiwa itupun perlahan menyeretnya hingga lupa pada jati diri, sampai ia merasakan lubang menganga dalam tubuh. Seb...