Dua

139K 8.6K 292
                                    

"Sebenarnya gue..."

"Lo kenapa sih? Kok jadi serius gini tampangnya?" Tanya Alvero sambil tertawa.

"Ver, gue kenal sama lo udah lama, kan? Lo juga kenal gue udah lama." Ujar Rere sambil meremas ujung baju kemejanya.

"Iya. Gue aja sampai tau kebiasaan lo. Contohnya begini nih. Gugup kenapa lo?" Tanya Alvero sambil menopang dagunya dan menatap kearah Rere Intens.

"Besok lo udah mau lulus, dan lo udah gak bakal jadi senior gue lagi, kan?" Tanya Rere, Alvero mengangguk sambil masih tersenyum.

"Tapi kita kan masih bisa ketemuan di luaran. Gue juga masih bisa bantuin lo subject yang lo ga ngerti kok." Ujarnya. Baik dan perhatian seperti biasa.

Rere tidak habis pikir, kenapa laki-laki di hadapannya, laki-laki yang bahkan tahu kebiasaannya, seakan tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti mengenai perasaannya selama ini.

"Gue suka sama lo. Gak, gue cinta sama lo, Ver."

Seketika dagu Alvero yang bertopang di tangannya, terangkat. Senyum di wajahnya menghilang. Dan matanya yang tadi menatap intens Rere, mendadak membulat dan gelap.

***

Rere's POV

Aku menghela nafas panjang sambil menopang daguku di tangan yang ku tahan di atas meja.

Tanganku yang satunya sibuk memutar-mutar gelas kecil berisi cairan putih yang tinggal setengah.

Pandanganku sudah sedikit mengabur dan membuat aku kembali memikirkan hal yang telah lalu.

Kadang aku merasa menyesal telah mengatakan hal itu, hal yang membuat hubunganku dan Alvero menjadi sekaku papan tebal yang tidak bisa di tekuk.

Tapi di lain sisi, aku juga merasa lega telah mengatakan hal itu. Setidaknya, aku tidak perlu membohongi perasaanku sendiri atau menyembunyikan perasaan itu lagi meskipun sekarang sikap Alvero berubah 180 derajat.

Setelah meninggalkan kantor Alvero dengan airmata tertahan, aku langsung melangkahkan kakiku menuju club malam yang baru saja dibuka sampai malam menyapa. Aku bahkan tidak tahu berapa jam aku duduk bertopang dagu sambil terus memesan minum yang entah sudah gelas keberapa sekarang.

Alvero bahkan tidak meneleponku sekalipun. Pathetic? Gue tau kok. Salah gue sendiri punya perasaan ini.

Ah sudahlah. Merenung disini dengan gelas-gelas alkohol juga percuma. Perasaan laki-laki es itu tidak akan melumer dengan panasnya alkohol yang kuminum.

Aku meletakkan beberapa lembar uang di meja bar dan menyampirkan tas jinjingku di punggung dan turun dari kursi bar.

Kepalaku terasa pening, membuat jalanku oleng kekanan dan kekiri. Aku mengabaikan tatapan orang yang kesal karena kakinya terinjak olehku atau tertabrak olehku.

Namanya orang sudah setengah mabuk, mana bisa jalan lurus sih? Geramku dalam hati.

Bukkk

Ya Tuhan! Kali ini siapa yang aku tabrak?

Aku mengadahkan kepalaku dan melihat ngeri kearah laki-laki berbadan besar, dengan bau alkohol yang lebih kuat dari pada yang ada di diriku. Matanya, terlihat sangat seram di tambah dengan bekas-bekas luka yang sudah mengering di batang hidung dan pipinya.

"Maaf..." ujarku yang seakan mendadak sadar dari setengah mabukku. Aku baru saja ingin ngibrit, tapi lengan besarnya menahanku.

"Hai, Miss. Bukan cara yang baik untuk meminta maaf, kau tahu?" Tanyanya dengan suara ngebass yang bisa terdengar jelas olehku, meskipun suara musik di club saat ini bisa memecahkan gendang telingaku.

Fated! [#DMS 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang