DuapuluhLima

99.7K 5.4K 326
                                        

Alvero's POV

"WHAT?! SUMPAH?! DEMI APA LO?! SUMPAH LELUCON LO GA LUCU!!!"

Aku menjauhkan ponselku dari telingaku. Baru saja aku menekan tombol hijau di layar ponselku, suara ngebas nan memekakkan telinga itu sudah hendak menendang hancur gendang telingaku.

"Gue tebak kalau undangannya udah sampe." Komentarku saat mendengar reaksi luarbiasa Peter disana.

"Alvero, gue tau lo stress, tertekan, nyaris gila, otak lo gesrek setelah koma. Tapi gak gini juga. Masa iya lo belom ketemu Rere, lo udah main kirim undangan pernikahan gini? Gue khawatir sama lo, Man."

Aku mengernyit. Benar juga, Mereka belum tahu aku sudah menemukan Rebecca sekitar hampir 2 bulan yang lalu. Ini semua karena ide Rere yang ingin memberi kejutan pada mereka.

Aku melirik Rere yang sepertinya terbangun dari tidur nyenyaknya akibat suara Peter yang sekali lagi, memekakkan telinga meskipun tidak aku loudspeaker panggilan itu.

"Siapa?" Bisik Rere tanpa suara.

"Peter." Jawabku tanpa suara juga.

Lalu kami melirik Alleira yang tertidur di antara kami dengan pulas. Alle memang mempunyai kamar sendiri, tapi Alle masih sering meminta untuk tidur bersama kami, terutama kalau sedang hujan disertai petir.

Oleh karena itu juga, sebulan belakangan ini, aku tidak bisa menyentuh Rere. Dan kalau aku benar-benar tidak bisa menguasai nafsuku, Aku akan membopong Rere menuju ke kamar mandi diam-diam saat Alle tidur.

Rere mencolek tanganku lalu menunjuk kearah luar kamar kami. Aku mengerti, sepertinya Rere juga ingin tahu bagaimana reaksi Peter dan Via mendapat undangan pernikahan kami yang akan berlangsung 2 minggu lagi.

Aku dan Rere turun perlahan dari kasur dan berjingkat menuju ruang tamu setelah itu, tanpa di minta, aku menLoudspeaker ponselku.

"Alvero, lo dengerin gak sih? Semua masalah bisa di selesaikan. Lo pasti akan ketemu Rere nanti. Tapi lo juga gak usah jadi setengah gila gini sampai mau ngadain pernikahan yang mempelai ceweknya aja belom ketemu." Cerocosnya. "Vi! Kamu bilangin nih abang-abangan kamu."

"Ver, jangan gini dong Ver... aduh masa lo jadi gila gini sih?" Suara Via terdengar khawatir.

"Siapa yang gila?" Tanyaku menahan tawa. Apalagi begitu Rere mencubit lenganku.

"Duh Alver... kita omongin baik-baik ya? Rere pasti pulang kok." Bujuk Via.

Rere lalu menarik lenganku dan berbisik ditelingaku, "Ikutin aja permainan mereka, Ver."

Aku tersenyum geli mendengar ide Rere. Iseng juga calon istriku ini. Padahal sahabatnya yang ini sangat mengkhawatirkan dirinya.

"G-gue gak bisa Viaaaa..." pekikku pura-pura histeris dan kubuat suaraku sedemikian rupa miris. "Ini cara terakhir gue buat bikin Rere menjadi milik gue... kalau gak, gue mau loncat aja dari gedung apartemen gue..."

Rere membekap mulutnya, tubuhnya terdorong kebelakang menahan tawa.

"Bro, sabar bro... jangan kayak gini. Mengakhiri hidup lo gak akan menyelesaikan masalah lo. Gimana kalau Rere balik nanti?" Tanya Peter yang sudah kembali mengamil alih pembicaraan dari Via.

"Kalau gue udah ko'it, gue kan bisa ketemu Rere, terus gue ajak pergi aja deh tuh si Rere." Jawabku masih berusaha mendramatisir suaraku, jujur saja, aku sudah tidak bisa menahan tawaku sekarang.

"Wah lo gila! Jangan Alver!!! Itu sahabat gue! Masa lo ajakin mati bareng??? Gak gak gak!" Protes Via. "Lo jangan gila ya Ver, lo kesepian? Iya?"

"Iya, Vi... gue kesepian... gue butuh belaiannn..." Rere memukul bahuku. Wajahnya sudah memerah menahan tawa. Ingin sekali kucium wajah cantiknya itu.

Fated! [#DMS 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang