Tiga

130K 7.8K 216
                                    

Satu hal yang mungkin terbodoh adalah curhat kepada orang yang dulunya, ataupun masih menempati hati orang yang kita cintai.

Disinilah aku, di depan laptopku, bertatap muka dengan Via yang masih mengenakan piyama tidurnya. Aku tahu disana masih sangat pagi, atau bahkan tengah malam.

Tapi Via dengan senang hati menawarkan jasa kupingnya untuk ku sumpal dengan berbagai uneg-unegku begitu aku menceritakan secara singkat keluh kesahku semalam.

"Re, tapi apa lo yakin kalau Alver gak peka terhadap perasaan lo?" Tanya Via di seberang sana sambil sesekali mengucek matanya.

Aku mengangguk. "Percuma, Vi. Perasaan gue udah tumbuh dari jaman kuliah. Gak kesampean sampe sekarang." Jawabku sambil tertawa miris.

"Tapi Alver yang gue kenal tuh gak gitu deh, Re." Via menatap bingung kepadaku.

"Mungkin Alver yang lo kenal dan Alver yang gue kenal, beda orang." Ya maklum lah? Alvero kan ketahuan banget punya rasa sama Via. Sedangkan aku? Hanya seperti debu di pelupuk matanya.

"Re... tapi lo jangan gampang nyerah gitu dong? Siapa tau dia udah nyesel sekarang?"

"Dia bahkan gak menghubungi gue dari kemarin pagi." Selaku. "Sms juga gak."

"Ih! Dasar si Alver kunyuk bego! Tenang, Re. Nanti gue bilangin ke dia. Biar gue nasihatin." Via mengepalkan tangannya meninju udara dan berkacak pinggang.

Aku tertawa kecil. "Gak usah, Vi. Gue gak curhat sama lo supaya lo bisa bilangin dia kok." Gumamku pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Via. "Gue cuman capek aja, Vi. Gue mau menghindar dari dia, kalau gak, hati gue akan terus terluka."

Mataku panas. Aku tahu kalau sebentar lagi bendungan airmataku akan runtuh.

"Re.... semangat dong. Duh gue jadi sedih nih." Via bergerak panik dari tempat duduknya.

"Viiii... Keira bangun nih!" Yaaaah Kenneth juga bangun...."

Terdengar suara dari kejauhan, aku tahu dan yakin kalau itu suara suaminya, Peter.

"Iyaaaa! Sabar ya, sayang!" Jawab Via setengah berteriak. Tubuhnya sudah sedikit berdiri dari tempat duduknya. "Re, aduh maaf banget, si kembar pengen nyusu." Wajah Via menyorotkan kesedihan.

"Gak apa, Vi. Maaf ganggu lo tengah malem gini." Ujarku maklum.

"Ehm... pokoknya lo gak boleh menghindar, Re. Gak ada yang bisa menghindar dari Cinta. Lo harus menghadapinya meskipun itu sakit. Gue akan coba buat minta Peter nanya perspektif dari Alvero. Gue yakin kok kalau kalian itu ditakdirkan untuk bersama. Ehm... ya pokoknya gak boleh galau, gak boleh sedih, gak boleh menghindar. Lo mungkin butuh waktu untuk membenahi hati lo, tapi bukan berarti waktu itu lo pergunain untuk menghindari cinta. Karena percaya sama gue..."

"VIA BURUAAAAANNNNN!"

Aku tertawa begitu melihat ekspresi Via yang kesal saat kata-kata bijaknya terpotong oleh aksi teriakan Peter yang tidak nyambung banget.

"Nih onta!" Gerutunya. "SABARR! ISTRI KAMU LAGI JADI ORANG BIJAK!" Teriaknya.

Lalu Via kembali menatap layar laptopnya -menatapku-. "Tadi gue sampe mana?" Tanyanya bingung.

"Disuruh percaya sama lo." Jawabku polos.

"Percaya apaan?" Dia malah balik bertanya padaku. Aku hanya menggidik.

"Viaaaa! Keira mukanya udah merah banget nih. Ya ampun!" Teriak peter lagi.

"Sabar, Onta!!! Gue jadi lupa mau ngomong apaan!" Teriak Via kesal lalu kembali menatapku. "Ya pokoknya jangan menghindar deh. Nanti kalau gue udah inget, gue sms deh tadi mau ngomongin apa. Gue off dulu ya. Kasian si Keira sama Kenneth. Bye, Re!!"

Fated! [#DMS 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang