Sepuluh

108K 6.4K 288
                                    

Rere's POV

Ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi ini.

Disaat semua hal yang menyenangkan dulu, mendadak berubah menjadi menyedihkan dan seakan bisa membunuhku kapan saja.

Disaat segala penantian lamaku terjawab, tapi aku tidak dapat menikmatinya sama sekali.

Alvero, untuk pertama kalinya aku melihat wajah sendu Alvero yang menatapku saat dia mengatakan kalau dia menyayangiku. Kata-kata yang ku dengar untuk pertama kalinya. Kata-kata yang tidak pernah terucap dari bibir Alvero selama ini. Kata-kata yang selalu menjadi pertanyaan bagiku mengenai kapan aku bisa mendengar kata-kata itu. Dan untuk pertama kalinya juga Alvero mencium keningku lembut, menatap kedua bola mataku hangat. Aku seakan tidak pernah tahu kalau dalam pandangan mata itu pernah ada gunung es yang tidak kunjung mencair selama 3 tahun lamanya.

Sejak kapan gunung es itu mencair? Apa dengan aku yang berhenti mengejarnya, berhasil mencairkan gunung es itu?

Atau... selama ini gunung es itu hanyalah topeng yang sengaja Alvero pasang di depanku?

Aku ingin menemui Alvero dan menanyakan itu semua. Menanyakan maksud ucapannya, menanyakan kebenaran dari ucapannya.

Tanganku terkepal erat sampai bergetar di atas pangkuanku.

"Kenapa, sayang?" Sebuah tangan dingin meraih tanganku yang terkepal.

Aku tidak menjawabnya, ataupun menatapnya. Malas rasanya melakukan hal itu semua.

"Kamu terlalu gugup untuk makan malam bersamaku dan teman ku?" Tanyanya sambil tersenyum. Ya, ini adalah Ruben yang normal. Sedikit saja aku mengatakan atau melakukan hal yang salah, dia pasti akan berubah menjadi Ruben yang... tidak perlu kujelaskan.

Aku melirik jam di dashboard. Pukul 7 malam. Satu jam lagi sebelum waktu janjianku dengan Alvero. Kurasa aku tidak akan bisa memenuhi janji itu. Aku tidak akan bisa kabur dari Ruben.

Remasan di tangan kananku bertambah kuat. Aku sempat meringis lalu menatapnya yang masih menatap jalanan di balik kemudinya.

"Aku nanya sama kamu, Re." Ujarnya datar namun tajam.

"Iya." Jawabku akhirnya. Malas untuk berdebat atau melihat perubahan laki-laki gila di sampingku ini.

Aku melihat dia menyunggingkan senyumnya lalu mengangkat tangan yang tadi dia gunakan untuk meremas tanganku kearah pipiku dan membelainya pelan. Ingin rasanya aku menepis lagi tangan dingin itu.

"Aku ada sama kamu kok, sayang. Gak perlu takut." Katanya berusaha menenangkanku dimana kenyataannyan, kata-katanya malah membuatku bergidik ngeri.

Bagaimana seorang manusia seakan memiliki 2 personality yang berbeda dan dapat berubah dengan cepat seakan tidak terjadi apapun.

Ruben seakan tidak tahu kalau satu-satunya orang yang saat ini membuatku takut adalah dirinya.

Aku hanya menyunggingkan senyum alakadarnya demi tidak membuat emosi Ruben naik lagi.

Mobil berhenti di salah satu hotel berbintang yang cukup terkenal di LA. Pintu disampingku dibukakan oleh seorang bell boy dan aku juga melihat Ruben turun dari tempatnya lalu menyerahkan kunci ke salah satu staff disana.

Ruben berjalan kearahku dan mengangkat lengannya yang sudah ditekuk, memintaku untuk menggamit lengannya yang kemudian kulakukan dengan berat hati.

Ruben tiba-tiba muncul di depan butikku ketika jam 5 tadi dan memintaku -memaksaku- untuk ikut makan malam dengannya dimana aku tidak mempunyai pilihan untuk menolak selain menerima ajakannya.

Fated! [#DMS 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang